Kalau nggak mau dikritisi
Kalau nggak mau di nasehati
Kalau nggak mau dicaci
Kalau nggak mau punya pembenci
Dan kalau maunya cuma punya pecinta
sejati
Juga hanya ingin dipuji sepanjang
hari
Jangan hidup di bumi
Sana pergi ke mars, masih nggak berpenghuni
Kamu bebas hidup tanpa asasi
Dan disana hidup kamu nggak aka nada yang ngomentari
Saya
sebal dengan seseorang hari ini. Ah tidak sudah sejak lama sebenarnya, tapi
saya tahan sebisa saya agar tidak muntah ke permukaan. Sebenarnya, beberapa hari
lalu sebal saya sudah mulai mereda. Tapi hari ini kembali meluap-luap. Walau
tidak sampai muntah ke permukaaan, sebab itu bukan cara saya untuk menunjukkan
bagaimana marahnya diri saya. Ya saya marah, saya sebal dan saya ingin
membungkam mulutnya. Salah, bukan dia maksud saya. Tapi mereka, walau yang dua
hanya sekedar “peran pendukung”. Tapi tetap saja, hati saya tak bisa
menyembunyikan kegeraman saya pada mereka.
Berulang
kali saya harus menghembuskan napas keras-keras. Berharap, beban yang
bersemayam bisa lepas bersamaan dengan hembusan CO2 dari hidung saya. Manjur. Walau
tidak seluruhnya. Karena bagaimanapun hati saya masih tidak terima. Dan otak
dengan baiknya membantu hati untuk memikirkan bagaimana caranya membalaskan
sakitnya hati saya pada mereka. Beberapa kali saya setuju dengan pemikiran otak
saya. Pikiran gila banyak berseliweran dan saya cukup percaya diri bahwa itu
dapat membungkam mulut mereka. Tapi kemudian saya berpikir, jika saya membalas
apa yang mereka lakukan pada saya, berarti saya berada pada kasta yang sama
dengan mereka dan juga berarti saya tidak percaya pada Allah sepenuhnya. Karena
bukankah, Allah selalu punya cara-Nya sendiri untuk mereka yang dalam tanda
kutip dizalimi. Kita tidak selalu bisa menilai itu benar atau salah apa yang
kita lakukan nanti untuk membalas dendam, begitu juga saya. Bisa jadi itu benar
menurut hati saya, karena saat ini hati saya sedang sakit-sakitnya dengan
perlakuan mereka, tentu hati saya akan membenarkan apa saja yang saya lakukan,
entah itu baik atau sebaliknya. Tapi bagaimana dengan bagian terdalam juga
tersuci dari hati saya, hati nurani. Apakah ia membetulkannya. Saya menggeleng
sebagai perwakilan dari hati nurani saya. Perbuatan balas dendam tidak selalu
baik bahkan tidak akan pernah.
Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mereka. Saya tidak mau membalas
dendam pada mereka, juga tidak ingin hanya diam saja, dengan apa yang mereka lakukan
juga katakan pada saya. Saya tahu saya hidup dengan orang banyak. Dan mau tidak
mau saya harus menerima apa saja pendapat mereka tentang apa yang saya lakukan,
entah itu baik atau buruk. Tapi bukankah, seharusnya saya tidak peduli dan saya abaikan apa saja yang mereka katakan. Tapi
saya sudah mencoba, dan gagal. Saya terus
memikirkannya sepanjang hari. Seperti menggali luka hati yang semakin dalam. Berulang
kali saya melontarkan pertanyaan yang sama, “Apa yang harus saya lakukan?” Dan
hanya malam yang kosong datang sebagai jawaba. Entahlah bagaimana ini. Tapi yang
jelas saya hanya bisa mengadu kepada-Nya, berharap hal baik datang pada mereka.
Dan mereka sadar, apa yang mereka lakukan salah. Ya begitu saja. Saya rasa
cukup. AllahMaha Tahu yang terbaik ‘kan, untuk saya juga mereka. Ah, sudahhhh. Saya
lelah. Yang penting sekarang sudah tumpah ruahkan segala apa yang saya rasa,
pada sahabat baik saya, sebuah tulisan. Setidaknya dengan begini hati saya
sudah mulai membaik. Untuk hari ini, entah untuk esok saat kembali bertemu
dengan dia di sekolah. Saya hanya berdoa, semoga Tuhan menulikan telinga saya
dan membutakan mata saya saat berpapasan dengan mereka. Sebab saya hanya tidak
ingin luka bersemyam lebih lama di hati saya. Sudah begitu. Terimakasih untuk
mau membaca. Selamat malam, semoga hari ini dan selanjutnya hatimu tentram,
begitu juga saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar