Senin, 04 April 2016

Tuhan, tidak sedang bermain dengan takdir.

Jika hari itu aku tidak datang, apakah takdir lain tetap akan mengantarkanku padamu? Jika hari itu aku memutuskan untuk tetap tidur di rumah, dan tetap melanjutkan tidurku di hari minggu, apakah nasib tetap akan menggariskan kamu untukku?
Mari kita berspekulasi banyak hal. Tentang pertemuan pertama, kedua dan ketiga. Apa pertemuan itu sebuah paksaan? Atau Allah sedang iseng mempermainkan takdir. Tidak, Allah tidak sebercanda itu bukan. Aku selalu percaya pada qada dan qadar yang sudah Allah gariskan. Selalu. Karena segala hal yang terjadi selalu ada alasan dan akan selalu ada sebab akibatnya. Begitulah, Allah selalu yang paling Maha hebat, Maha tahu dan selalu yang paling Maha menakjubkan. 
Jika hari itu tiba-tiba kamu tidak jadi datang, dan digantikan orang lain. Masihkan perasaan yang terkadang bermain-main di hatiku ini, akan tetap ada. Jika itu bukan kamu, masihkah aku akan tetap meneruskan untuk menulis ini, sampai paragraph terakhir? Apa perasaan yang sedang bermain-main di hatiku ini cinta? Ah, tidak. Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Masih ada banyak perkiraan yang harus hati dan pikiran musyawarahkan. Mungkin, kata kagum bisa kita ambil sinonim dari perasaan tersebut. Ya, aku rasa bisa. 
Aku mengagumi kamu, dari segala hal yang kamu lakukan, yang kamu ungkapkan, yang kamu tertawakan. Semuanya. Itu semua selalu membuatku jatuh hati. Dari awal pertemuan, hingga yang terkahir. Kamu selalu yang paling bisa membuat debar aneh bermunculan di dada, sesaat setelah kita bersua. Tapi, bagaimana bila lama-kelamaan aku tidak bisa mengendalikan rasa kagumku, bagaimana bila itu berkembang pada perasaan yang lain? Bagaimana, apa itu boleh? Untuk seorang yang juga banyak pengagumnya seperti kamu, apakah tidak apa bila rasa kagum itu bermetamorfosis menjadi perasaan yang lain, perasaan yang lebih dari rasa kagum seorang gadis yang sedang berusaha mencari jati dirinya.
Lalu bagaimana dengan kamu, jika pada akhirnya rasa itu sudah terlanjur bermetamorfosis, namun kamu tidak pernah tahu. Juga bagaimana denganku, jika pada akhirnya perasaan itu nantinya menggila, menggelora melumpuhkan akal dan jiwa dan aku tidak bisa mengontrolnya. Bagaimana. Ah sesungguhnya, aku tak benar-benar membutuhkan jawaban itu. Hanya sebenarnya, jawaban itu sudah ada di dalam diriku. Itu semua tergantung, bagaimana aku memutuskan untuk hatiku, bukan? Jika aku tetap mengacuhkanmu, dan hanya mendengarmu sekelabatan mata saja. Mungkin tulisan ini tidak akan pernah dibuat.
Tapi tulisan ini, sudah terlanjur dibuat. Namun, itu bukan berarti keputusanku akan perasaanku juga telah mencapai kata mufakat. Banar. Aku mungkin bimbang. Terlampau takut dengan potensi-potensi kesakitan yang bisa muncul dari sisi manapun, karena sebenarnya ada banyak orang yang merasa memilikimu, bukan saja ibu-bapakamu, teman-temanmu, juga bukan saja aku. 
Mungkin, aku tak benar-benar memiliki kuasa akan hatiku, karena Allah lebih tahu bagaimana deatilnya hatiku. Juga hatimu. Kita hidup pada kemungkinan-kemungkinan seperti “siapa yang tahu”. Jadi, biarkan aku selesaikan dahulu untuk memantaskan diriku, bila akhirnya hati kecilku meraung memintamu untuk menjadi yang berdiri di depan shaf shalatku. Biar, waktu dengan kuasa penuh dari Allah yang membantu, untuk menentukan hati yang tidak menentu.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar