Kamis, 21 April 2016

Untuk Kamu yang Pernah Saya Sebut Sebagai Sahabat



Orang yang hari ini kamu cintai setengah mati, bisa saja besok kamu yang sepenuh hati, mengharap dia pergi mati.
Ah sebentar, betapa sadisnya pernyataan saya barusan. Tapi bukankah begitu, Allah selalu yang paling pandai membolak-balik hati hambaNya. Dengan segala cara yang Ia punya. Tiba-tiba jatuh hati, tiba tiba ingin dia hempas dari muka bumi. Tapi sebentar, kata mati, saya rasa terlalu kasar untuk tulisan segalau ini. Mungkin kata pergi bisa dipakai, dalam tanda kurung tambahan tentunya. Pergi (menuju illahi). Haha. Mungkin begini ya jika sudah begitu benci. Doa-doa buruk berseliweran tanpa henti. Tidak sadar Tuhan sedang mengamati. Dan malaikat juga sedang mencatat di sisi kanan dan kiri.
Tapi ini kenyataan bukan. Selalu begitu, ketika orang yang pernah kita sayangi tiba-tiba melukai hati. Menatapnya saja kita tak akan sudi. Begitu juga saya. Beberapa orang pernah berseliweran masuk, dalam daftar orang yang saya cintai, setelah bapak ibu dan keluarga saya. Seperti dia. Yang dulu pernah saya elu-elukan sebagai sahabat terbaik saya. Tapi kemudian sekarang berbalik, perkataan yang pernah saya ucap ingin saya tarik. Semuanya.
Dia menjadi berbeda sekarang. Dengan seenaknya membuat hati saya luka berulang-ulang. Padahal dulu kami sering berbagi cerita, tapi ternyata itu tidak menjamin kita akan bersama selamanya. Saya sedikit kecewa pada awalnya. Berulang kali saya memutar otak, apa yang salah dengan saya, sehingga tidak cukup membuat dia, tetap bertahan sebagai orang yang selalu ada dengan saya. Tapi hanya lembar kosong yang saya punya. Ya maksud saya, saya tidak mendapat jawaban apapun. Dari kamu, juga dari pikiran saya sendiri. Awalnya memang sulit untuk berkelit dengan rasa kecewa. Tapi pada akhirnya saya pasrah. Bukan berarti setelahnya saya menyerah, dan hanya mengharapkan kamu datang sebagai pencerah. Tidak. Sebab begini kawan, kamu hanya orang kesekian yang menciptakan kekecewaan. Saya tidak perlu berlama-lama berenang dalam kubangan luka, cukup berendam sebentar kemudian segera naik kembali ke permukaan.
Dan sekarang kamu perlu tahu. Saya sudah lebih baik tanpa kamu. Luka saya sudah sembuh sepenuhnya. Lalu apa sekarang saya benci kamu? Ya pada awalnya, saya benci kamu, saya tidak suka melihat kamu lewat di depan saya, walau mau tidak mau kita harus bertemu setiap hari di sekolah. Tetapi saya tidak suka, jika membiarkan rasa benci bersemayam lebih lama dalam hati saya. Karena jika saya terus-terusan benci sama kamu, mendoakan agar kesengsaraan datang kepada kamu. Itu berarti saya belum dewasa. Itu berarti saya hanya melancarkan kemarahan Tuhan datang kepada saya. Allah tidak suka ‘kan hamba yang gemar memupuk rasa benci. Itulah kenapa sekarang, bila saat kamu menyapa saya, saya akan dengan senang hati melemparkan sapaan balik seraya tersenyum. Dan juga bila sekarang kamu merasa nyaman bercengkrama dengan saya tidak seperti pada awal kita “terpecah”. Itu karena saya sudah memaafkan kamu juga diri saya sendiri. Saya selalu percaya pada rencana-Nya yang selalu menakjubkan dan berhasil membuat saya terheran-heran walau awalnya saya kecewa mati-matian.
Jadi kawanku, kamu tidak pernah menjadi mantan orang yang saya sayang. Kamu tetap menjadi kawanku, walau itu berarti tandanya tingkatmu turun dari sebelumnya. Tapi setidaknya kamu pernah menjadi alasan saya tertawa lepas, walau akhirnya “hubungan” yang kita miliki kandas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar