Selasa, 03 Mei 2016

Sebelum Dekat, Saya Pernah Benci Kamu Sangat Pekat



Hari ini saya sempat dibuat geli oleh salah seorang kawan dalam sebuah perbincangan ringan. Beberapa percakapan, sedikit terlupakan, tapi kurang lebih seperti ini.  Dia bilang pada saya, “Aku ingin jadi tokoh dalam tulisanmu,” dia diam sebentar kemudian berkata lagi, “Benci saja aku!”
  Dahiku berkerut. Apa maksudnya? Kemudian dia melanjutkan lagi perkataannya,karena aku tahu hanya ada dua cara agar seseorang, menjadi tokoh dalam tulisanmu, mereka yang kamu tulis adalah mereka yang kamu benci atau mereka yang kamu cintai. Maka aku harus menjadi salah satunya. Bila kamu tidak dapat mencintai aku, benci aku saja tidak apa.” Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya yang terakhir, baru sadar apa yang dikatakannya memang benar. Mereka yang saya jadikan tokoh utama dalam tulisan saya, adalah mereka yang dalam tanda kutip berkesan.
Lalu baiklah, tulisan ini saya persembahkan untuk kamu. Semoga kamu mau membacanya sampai akhir. Sebenarnya aku ingin menghadiahkan ini untuk kado ulang tahunmu. Tapi tidak jadi, begini langsung saja.
Dulu, saya pernah benci kamu. Bukan benci setengah mati, hingga saya tidak dapat memakai akal lagi. Tapi benci dalam kadar yang pas, seperti dalam racikan kopi. Tidak terlalu membuat lidahku kepahitan atau kemanisan. Jangan kaget dulu, saat membaca tulisan ini. Ini masih awal cerita. Coba tarik napas dulu. Jangan lupa juga dihembuskan. Karena saya tidak mau, saking terkejutnya kamu, sampai lupa untuk menghirup oksigen.
Jadi begini, ini cerita untuk setahun yang lalu. Saat itu kita tak terlampau dekat. Hanya akrab tapi bukan teman dekat. Kamu tentu tahu, bagaimana dulu aku pernah dekat dengan seseorang , yang  hingga di depan semua orang aku ultimatumkan sebagai seorang sahabat.  Kamu juga tahu kan bagaima cintanya saya dulu pada dia. Yang karenanya, saya habiskan waktu saya dengan banyak tertawa, bahagia. Ah pokoknya, saat itu saya bahagia luar biasa punya dia. Saya rasa kamu lebih tahu, tanpa aku jelaskan semuanya. Lalu tentu kamu bertanya, kapan mulanya aku mulai membenci kamu? Sebentar, jangan terlalu terburu. Mari kita urutkan satu per satu puzzle ini, agar nanti cerita yang kamu baca ini tidak rumit seperti benang yang lupa dipintal.
Jadi untuk beberapa bulan, persahabatan kami berjalan baik-baik saja. Indah seperti bintang di langit yang bersinar pongah. Hingga kemudian, cobaan itu datang. Kami bertengkar. Hanya masalah sepele awalnya, tapi entah bagaimana malah berbuntut panjang. Dan kamu. Menjadi bagian dalam pertengkaran kami. Saya tahu, beberapa kali kamu berusaha membantu, menyelesaikan permasalahan kami, yang mungkin kamu kira awalnya adalah salah kamu. Ya benar, ini salah kamu. Tidak, bukan sepenuhnya. Kamu salah, saya salah dan dia juga salah. Kamu salah karena saat itu saya merasa, adanya kamu hanya membuat kita semakin terpecah belah, saya salah karena saya terlalu egois dengan keinginan saya, agar dia tidak membagikan apapun selain dengan saya, dia salah karena dia terlalu dekat dengan kamu, bahkan membagikan rahasianya dengan kamu, sedangkan dengan aku sama sekali tidak; tidak pernah. Saat itu saya marah, dia bilang saya adalah sahabat terbaikknya, tapi kenapa untuk hal yang dia anggap rahasia, harus ia bagikan dengan yang lainnya, dengan kamu. Saya tidak mengerti. Apa saya sebegitu bermulut besarkah, hingga pada orang yang dia sebut sebagai sahabat terbaik, ia tidak rela membagikan rahasianya. Kemudian kami saling diam satu sama lain, sesudahnya. Saat itu, saya kira, dia paham maksud saya, kenapa saya marah. Tapi tidak, dia justru semakin dekat dengan kamu. Dan api cemburu, semakin menyala  dalam diriku. Bahkan kalian juga, menciptakan nama panggilan untuk satu sama lain. Kamu tahu, hati saya teremas-remas saat itu, saat kalian dengan asyiknya memanggil panggilan “kesayangan” yang kalian berdua ciptakan. Tapi saya hanya bisa diam. Sebab memberontak, bukan gaya saya.
Hingga beberapa bulan setelah pertengkaran. Hubungan kami tidak kunjung baik, walau tawaran untuk baikan sudah sama-sama kami layangkan, juga tawaran dari kamu. Tapi entah, yang saya rasa hubungan kami tidak bisa serekat, segila dan senorak dulu. Harusnya pertengkaran saat itu hanya cobaan, tapi sayang kami sama-sama tidak lagi memiliki kemampuan untuk berbaikan seperti dulu.
Dan untuk kali ini saya tidak akan menyalahkan kamu. Karena pada kenyataannya, rasa yang kami alami sudah berbeda. Saya merasa dia semakin jauh dari saya. Diam-diam saya memang merindukan hubungan kami yang dulu, yang sebelum datangnya pertengkaran itu. Beberapa kali, saya coba untuk memperbaiki, tapi nyatanya hubungan yang kami miliki sudah pecah, apapun jenis lem yang kami coba untuk merekatkan kembali hubungan kami, nyatanya sama sekali tidak mampu untuk mengembalikan kehangatan hubungan kami.
 Dan pada akhirnya beginilah hungan kami, kami saling menjauh. Menciptakan sekat dalam ruang kami masing-masing. Mencari sandaran lain. Dan mulai saat itu, perlahan saya mulai memaafkan kamu, yang dulu pernah saya anggap sebagai perusak hubungan saya dengan dia. Memaafkan dia, yang pernah saya anggap berkhianat dengan kamu, dan tentunya memaafkan kebodohan saya, yang terlalu mengikuti egoisme saya.
Dan entah bagaimana, sekarang saya merasa saya justeru semakin dekat dengan kamu. Saya dan kamu memiliki kesamaan, sama-sama tidak mudah mempercayai orang lain dalam waktu singkat. Mungkin karena saya atau kamu, sama-sama memiliki trauma di masa lalu. Seperti dia, dia adalah salah satu pengalaman traumatis dalam hidup saya, entah dulu bagaimana saya begitu mudahnya percaya pada dia, menganggap kami akan sehidup semati layaknya cerita dongeng yang biasa saya dengar. Tapi nyatanya kami tidak, kami hanya terjebak pada kesenangan sesaat. Dan akhirnya kami sama-sama memutuskan untk pergi, mencari “rumah” masing-masing. Dulu, saya mungkin sangat menginginkan dia kembali, tapi sekarang tidak. Justru terkadang, saya ingin lupa bila saya pernah berkoar-koar bila dia adalah sahabat saya.  Saya ingin lupa segala kenangan yang saya buat dengan dia. Semuanya.
Dan satu hal lagi, saya terenyuh sekali ketika kamu bilang, saya adalah orang pertama yang kamu bilangi mengenai kamu tidak mudah percaya pada orang lain. Saya tidak mengira, kamu memilih saya sebagai orang pertama. Tapi yang jelas, saya peringatkan jangan sepenuhnya percaya pada saya. Saya memang bukan pengkhianat, tapi yang saya takuti adalah, ketika saya tidak bisa menjadi apa yang kamu harapkan.  Dan oh ya saya lupa satu hal lagi, saya ingin bilang, entah kenapa ya saya senang bicara dengan kamu, membagikan apa yang saya rasa dengan kamu, mengatakan apa yang tidak saya katakan pada orang lain dengan kamu. Mungkin karena saya merasa menemukan diri  saya dalam diri kamu. Tapi saya tidak bisa bilang kamu adalah satu-satunya, sebab sebelum kamu, ada satu orang yang adanya juga mendominasi saya. Yang sama seperti kamu. Tapi kami dalam ruang berbeda. Dengannya dulu saya juga pernah berbagi banyak rasa. Enam tahun dia menemani saya, mengetahui baik buruk saya. Saya tidak ingin bilang, kamu adalah duplikatnya, sebab Allah menciptakan orang tentu punya tujuannya masing-masing.  Begitu juga dengan kamu, siapa yang tahu, kalau kamu nanti yang Allah hadiahkan untuk saya sebagai tidak hanya sekedar teman atau sahabat tapi seseorang yang istimewa, seperti dia. Tapi bukan berarti aku mendua. Karena segala yang datang pada saya, yang saya yakini adalah datangnya dari Sang Pencipta, begitupun juga dengan kamu. Dan untuk selanjutnya, bagaimana kita nanti akhirnya, biar waktu yang menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar