Hari
ini saya sempat dibuat geli oleh salah seorang kawan dalam sebuah perbincangan
ringan. Beberapa percakapan, sedikit terlupakan, tapi kurang lebih seperti ini.
Dia bilang pada saya, “Aku ingin jadi tokoh dalam tulisanmu,” dia diam
sebentar kemudian berkata lagi, “Benci saja aku!”
Dahiku berkerut. Apa maksudnya? Kemudian dia melanjutkan lagi
perkataannya, “ karena aku tahu hanya ada dua cara agar seseorang, menjadi
tokoh dalam tulisanmu, mereka yang kamu tulis adalah mereka yang kamu benci
atau mereka yang kamu cintai. Maka aku harus menjadi salah satunya. Bila kamu
tidak dapat mencintai aku, benci aku saja tidak apa.” Aku hanya tersenyum
mendengar penjelasannya yang terakhir, baru sadar apa yang dikatakannya memang
benar. Mereka yang saya jadikan tokoh utama dalam tulisan saya, adalah mereka
yang dalam tanda kutip berkesan.
Lalu
baiklah, tulisan ini saya persembahkan untuk kamu. Semoga kamu mau membacanya
sampai akhir. Sebenarnya aku ingin menghadiahkan ini untuk kado ulang tahunmu.
Tapi tidak jadi, begini langsung saja.
Dulu,
saya pernah benci kamu. Bukan benci setengah mati, hingga saya tidak dapat
memakai akal lagi. Tapi benci dalam kadar yang pas, seperti dalam racikan kopi.
Tidak terlalu membuat lidahku kepahitan atau kemanisan. Jangan kaget dulu, saat
membaca tulisan ini. Ini masih awal cerita. Coba tarik napas dulu. Jangan lupa
juga dihembuskan. Karena saya tidak mau, saking terkejutnya kamu, sampai lupa untuk
menghirup oksigen.
Jadi
begini, ini cerita untuk setahun yang lalu. Saat itu kita tak terlampau dekat.
Hanya akrab tapi bukan teman dekat. Kamu tentu tahu, bagaimana dulu aku pernah
dekat dengan seseorang , yang hingga di depan semua orang aku ultimatumkan
sebagai seorang sahabat. Kamu juga tahu kan bagaima cintanya saya dulu
pada dia. Yang karenanya, saya habiskan waktu saya dengan banyak tertawa,
bahagia. Ah pokoknya, saat itu saya bahagia luar biasa punya dia. Saya rasa
kamu lebih tahu, tanpa aku jelaskan semuanya. Lalu tentu kamu bertanya, kapan
mulanya aku mulai membenci kamu? Sebentar, jangan terlalu terburu. Mari kita
urutkan satu per satu puzzle ini, agar nanti cerita yang kamu baca ini
tidak rumit seperti benang yang lupa dipintal.
Jadi
untuk beberapa bulan, persahabatan kami berjalan baik-baik saja. Indah seperti
bintang di langit yang bersinar pongah. Hingga kemudian, cobaan itu datang.
Kami bertengkar. Hanya masalah sepele awalnya, tapi entah bagaimana malah
berbuntut panjang. Dan kamu. Menjadi bagian dalam pertengkaran kami. Saya tahu,
beberapa kali kamu berusaha membantu, menyelesaikan permasalahan kami, yang
mungkin kamu kira awalnya adalah salah kamu. Ya benar, ini salah kamu. Tidak,
bukan sepenuhnya. Kamu salah, saya salah dan dia juga salah. Kamu salah karena
saat itu saya merasa, adanya kamu hanya membuat kita semakin terpecah belah,
saya salah karena saya terlalu egois dengan keinginan saya, agar dia tidak
membagikan apapun selain dengan saya, dia salah karena dia terlalu dekat dengan
kamu, bahkan membagikan rahasianya dengan kamu, sedangkan dengan aku sama
sekali tidak; tidak pernah. Saat itu saya marah, dia bilang saya adalah sahabat
terbaikknya, tapi kenapa untuk hal yang dia anggap rahasia, harus ia bagikan
dengan yang lainnya, dengan kamu. Saya tidak mengerti. Apa saya sebegitu
bermulut besarkah, hingga pada orang yang dia sebut sebagai sahabat terbaik, ia
tidak rela membagikan rahasianya. Kemudian kami saling diam satu sama lain,
sesudahnya. Saat itu, saya kira, dia paham maksud saya, kenapa saya marah. Tapi
tidak, dia justru semakin dekat dengan kamu. Dan api cemburu, semakin
menyala dalam diriku. Bahkan kalian juga, menciptakan nama panggilan
untuk satu sama lain. Kamu tahu, hati saya teremas-remas saat itu, saat kalian
dengan asyiknya memanggil panggilan “kesayangan” yang kalian berdua ciptakan.
Tapi saya hanya bisa diam. Sebab memberontak, bukan gaya saya.
Hingga
beberapa bulan setelah pertengkaran. Hubungan kami tidak kunjung baik, walau
tawaran untuk baikan sudah sama-sama kami layangkan, juga tawaran dari kamu.
Tapi entah, yang saya rasa hubungan kami tidak bisa serekat, segila dan senorak
dulu. Harusnya pertengkaran saat itu hanya cobaan, tapi sayang kami sama-sama
tidak lagi memiliki kemampuan untuk berbaikan seperti dulu.
Dan
untuk kali ini saya tidak akan menyalahkan kamu. Karena pada kenyataannya, rasa
yang kami alami sudah berbeda. Saya merasa dia semakin jauh dari saya.
Diam-diam saya memang merindukan hubungan kami yang dulu, yang sebelum
datangnya pertengkaran itu. Beberapa kali, saya coba untuk memperbaiki, tapi
nyatanya hubungan yang kami miliki sudah pecah, apapun jenis lem yang kami coba
untuk merekatkan kembali hubungan kami, nyatanya sama sekali tidak mampu untuk
mengembalikan kehangatan hubungan kami.
Dan
pada akhirnya beginilah hungan kami, kami saling menjauh. Menciptakan sekat
dalam ruang kami masing-masing. Mencari sandaran lain. Dan mulai saat itu,
perlahan saya mulai memaafkan kamu, yang dulu pernah saya anggap sebagai
perusak hubungan saya dengan dia. Memaafkan dia, yang pernah saya anggap
berkhianat dengan kamu, dan tentunya memaafkan kebodohan saya, yang terlalu
mengikuti egoisme saya.
Dan
entah bagaimana, sekarang saya merasa saya justeru semakin dekat dengan kamu.
Saya dan kamu memiliki kesamaan, sama-sama tidak mudah mempercayai orang lain
dalam waktu singkat. Mungkin karena saya atau kamu, sama-sama memiliki trauma
di masa lalu. Seperti dia, dia adalah salah satu pengalaman traumatis dalam
hidup saya, entah dulu bagaimana saya begitu mudahnya percaya pada dia,
menganggap kami akan sehidup semati layaknya cerita dongeng yang biasa saya
dengar. Tapi nyatanya kami tidak, kami hanya terjebak pada kesenangan sesaat.
Dan akhirnya kami sama-sama memutuskan untk pergi, mencari “rumah”
masing-masing. Dulu, saya mungkin sangat menginginkan dia kembali, tapi
sekarang tidak. Justru terkadang, saya ingin lupa bila saya pernah berkoar-koar
bila dia adalah sahabat saya. Saya ingin lupa segala kenangan yang saya
buat dengan dia. Semuanya.
Dan
satu hal lagi, saya terenyuh sekali ketika kamu bilang, saya adalah orang
pertama yang kamu bilangi mengenai kamu tidak mudah percaya pada orang lain.
Saya tidak mengira, kamu memilih saya sebagai orang pertama. Tapi yang jelas,
saya peringatkan jangan sepenuhnya percaya pada saya. Saya memang bukan
pengkhianat, tapi yang saya takuti adalah, ketika saya tidak bisa menjadi apa
yang kamu harapkan. Dan oh ya saya lupa satu hal lagi, saya ingin bilang,
entah kenapa ya saya senang bicara dengan kamu, membagikan apa yang saya rasa dengan
kamu, mengatakan apa yang tidak saya katakan pada orang lain dengan kamu.
Mungkin karena saya merasa menemukan diri saya dalam diri kamu. Tapi saya
tidak bisa bilang kamu adalah satu-satunya, sebab sebelum kamu, ada satu orang
yang adanya juga mendominasi saya. Yang sama seperti kamu. Tapi kami dalam
ruang berbeda. Dengannya dulu saya juga pernah berbagi banyak rasa. Enam tahun
dia menemani saya, mengetahui baik buruk saya. Saya tidak ingin bilang, kamu
adalah duplikatnya, sebab Allah menciptakan orang tentu punya tujuannya
masing-masing. Begitu juga dengan kamu, siapa yang tahu, kalau kamu nanti
yang Allah hadiahkan untuk saya sebagai tidak hanya sekedar teman atau sahabat
tapi seseorang yang istimewa, seperti dia. Tapi bukan berarti aku mendua. Karena
segala yang datang pada saya, yang saya yakini adalah datangnya dari Sang
Pencipta, begitupun juga dengan kamu. Dan untuk selanjutnya, bagaimana kita
nanti akhirnya, biar waktu yang menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar