Selasa, 17 Mei 2016

Memeluk Benci, Melepas Sangsi

Selama 11 tahun saya menimba ilmu di sekolah, guru yang paling favorit bagi saya adalah dia yang hampir selama satu tahun paling benci kehadirannya.
Sebentar, jangan terburu mengerutkan dahi, apa yang saya katakan benar adanya. Saya sangat membenci guru itu pada awalnya, hingga berjalannnya waktu, diam-diam rasa suka itu mengendap dalam hati. Beliau adalah guru bahasa Indonesia saya, di saat saya mencari ilmu di sekolah menengah pertama, namanya Bu Eli. Kenapa saya begitu membenci beliau, pada  awalnya? Karena selama masa itu, dalam pandangan saya, dia selalu meremehkan saya, merendahkan saya, memandang sebelah mata diri saya, dan istilah-istilah yang membuat hilang kepercayaan diri. Padahal, Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran yang saya gandrungi, tapi berkat dia, saya jadi benci setengah mati. Banyak kata-kata pedas yang ia keluarkan, bagiamana wujudnya saya lupa, toh itu bukan kenangan yang harus saya simpan.
Dari semua perkataanya yang menyayat sembilu itulah, saya mulai muak untuk terus dianggap “anak bawang”. Saya benar-benar tidak bisa terima. Sebab saya paling tidak suka, dipandang tidak mampu. Dengan kemampuan yang saya punya dan sebelumnya telah saya pelajari, sedikit-sedikit saya mulai berusaha unutuk membuatnya terpesona, tapi sayang selalu menemui titik kegagalan. Bukan karena saya tidak mampu membawakannya, tidak sebab banyak teman yang bilang suka dengan apa yang saya bawakan, sedangkan beliau hanya diam seperti tidak peduli, jadi penghargaan yang lahir dari mulutnya, yang saya sangat harapkan kehadirannya, sama sekali tak ada. Dia masih terus memandang rendah saya, mengkritik apa yang saya lakukan, tanpa peduli dengan apa yang saya rasakan, menganggap kemampuan saya hanya abal-abal. Dalam hati saya marah, apapun yang terjadi saya harus bisa membuktikan kepadanya bila saya mampu, saya ingin dia mengakui kalau saya bisa! Dan selama satu tahun itu, saya berjuang habis-habisan untuk membuat dia dalam tanda kutip mengagumi saya. Dengan rasa benci yang semakin menggelapkan mata, saya berjanji akan membuat dia terpesona.
Dari situ, saya sadar, kebencian yang saya tanam adalah salah besar. Jika di awal saya menganggap dialah batu besar dalam hidup saya, justru sebenarnya dialah yang mengantarkan saya untuk lebih produktif, untuk lebih meningkatkan kapasitas kemampuan saya yang selalu saya bangga-banggakan yang padahal masih nol besar, serta untuk tidak mudah puas pada apa yang telah saya ketahui dan dapatkan. Walau terlambat, tapi akhiranya saya bertobat. Benci yang dulu saya pupuk, mulai saya pangkas habis, saya mulai menyukai beliau dengan sepenuh hati, sebab setelah itu saya sadar, bukan dia para pembencimu yang selalu menjelekan kamu karena kelemahanmu, yang membuat kamu gagal menggapai mimpimu tapi dia para pencintamu yang terlampau sibuk meuja kelebihanmu, hingga lupa menunjukkan apa kelemahanmu.
Untuk Bu Eli, dengan tulisan sebanyak kurang lebih 400 kata ini, saya Rosyida mau minta maaf, walau sebenarnya ini bukan tulisan yang saya tujukan untuk permohonan maaf, tapi bila selama kita berjumpa dulu, saya selalu menampakkan raut muka yang tidak bersahabat, ketahuilah saya dulu sangat membnci jenengan dengan segala apa yang jenegan lakukan. Tapi akhirnya saya paham, Walau jenengan tidak memberi tahu secara langsung, mengapa jenengan melaukan hal tersebut pada saya. Tapi saya yakin, apa yang jenengan lakukan punya makna dan pengaruh yang luar biasa untuk hidup saya kedepannya. Terimakasih dan maaf. Dari murid “kurang ajarmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar