Hari ini saya merasakan
banyak emosi yang saling tumpang tindih. Perasaan marah, sedih, kecewa juga
sekaligus terenyuh.
Hari ini entah
bagaimana, Allah mengijinkan saya melihat dia secara langsung. Sosok manusia
yang menjadi “camilan” saat berbincang bersama. Mudahnya, dia sedang menjadi
buah bibir di sekolah saya.
Dia adalah kakak kelas
tingkat setahun di atas saya. Dari tingkahnya, sekilas tidak akan nampak
menganai “gangguan kejiwaan” yang sering teman-teman saya bicarakan. Pun bila
dilihat lebih jauh, dia masih nampak seperti anak normal.
Sedikit cerita, karena
teman-teman saya sering membicarakan dia, saya iseng mencari akun instagram
dia. Hanya ingin sekedar melihat, apa yang dia bicarakan ketika dia dalam
kondisi seperti itu. Dan ternyata nahas sekali, ada yang salah dengan dirinya. Walau sebenanrnya saya tidak ingin
menyimpulkan demikian, ini hanya karena doktrin yang terlanjur tertanam saja di
benak saya. Yang banyak mendengar cerita tentang ketiakwarasan dia. Jadinya saya
asal ceplos dalam hati demikian.
Dalam akun instagranya,
sebenarnya dia hanya mengupload beberapa foto. Seperti foto salah satu artis
wanita yang kemudian oleh dia diisi caption, yang jika sebelumnya saya tidak
tahu bila dia ada di kondisi seperti itu, mungkin saya hanya akan berkomentar “Hah,
aneh-aneh saja anak ini.” Ya Cuma itu, saya pasti akan berpikir dia Cuma iseng,
kurang kerjaan atau Cuma mengundang perhatian.
Jujur saja, saya tidak
bilang dia gila, aneh atau tidak normal. Tidak, bahkan tidak bisa. Yang saya
yakini, dia hanya sakit yah atau lebih tepatnya saya rasa dia hanya butuh
teman. Teman yang benar-benar mengerti luka yang sedang dia hadapi saat ini.
Sedikit cerita lagi,
sebelum dia berada di kondisi yang seperti itu. Menurut cerita yang saya dengar
dari seorang teman, yang sering berinteraksi dengannya, tahun ini saat dia
mendaftar sebagai salah seorang anggota tentara, dia gagal lolos seleksi. Cuma biasa
sebenarnya masalahnya. Tapi tidak tahu, setiap orang memandang kegagalan dari
sudut yang berbeda. Dan entah bagaimana, dia memilih sudut yang sulit ditempuh.
Dia terguncang. Saya yakin itu.
Mungkin jika saya boleh
mengira-ngira. Saat dia mengalami kegagalan tersebut, dia tidak punya seseorang
yang membantunya bangkit atau minimal yang menghiburnya. Mungkin beban yang ia
pikul sedemikian berantnya, juga tak ada siapapun yang membantunya, sampai dia
jatuh tersenggal memilkul beban itu
sendirian. Atau kemungkina-kemungkinan lain yang tidak teraba oleh saya.
Namun, yang membuat
saya haru adalah, pagi ini saya melihat ibunya yang gelisah bicara dengan
beberapa guru dari sekolah saya. Mengenai anaknya yang tidak mau diajak pulang
dan tetap berseliweran di sekolah ke sana kemari. Saya lihat bebrapa guru
menyarankan untuk mengajaknya ke psikiater, ibunya menjawab sudah, namun
anaknya marah-marah, karena tidak terima dianggap gila.
Berat sekali pasti
masalah yang ditanggung ibunya. Saya pikir bukan perkara yang mudah mengurus
anak apalagi dengan kondisi yang memilukan seperti itu. Saya selalu berdoa
semoga ibunya selalu diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa.
Sampai dia pulang,
entah mengapa ada beban berat yang menindih dada saya. Bukan karena ibunya
ataupu kakak kelas saya itu. Tapi lebih kepada teman-teman saya, yang jujur
saja, saya sering sekali mendengar mereka mengolok-ngolok, menghina atau hal
sejenisnya kepada kakak kelas saya itu.
Saya tidak membela,
tapi saya ingin bicara sebagai sesama manusia.
Bukan apa-apa, saya
hanya merasa kasihan. Beban yang dia tanggung sudah sedemikian berat, mengapa
tidak sama-sama mendoakan agar lekas sembuh, bukannya malah mengolok tanpa
jenuh. Saya paham, masalah seperti itu memang sellau menarik untuk dibicarakan,
tapi ada baiknya, mereka yang sekarang sedang kesusahan, dibantu, bila dengan
materi tak mampu, doa di setiap sholatmu bisa kok untuk membantu. Allah Maha
Mendengar.
Jangan sampai saat
sibuk megolok-olok orang yang sejenis itu, kita lantas lupa, bila Allah ingin,
kita bisa juga bernasib sama. Kita Cuma menunggu tenggat waktunya saja. Menghina
orang dalam keadaan seperti dia, itu nggak lucu. Menghina juga nggak bakal
membuat kamu kelihatan keren. Cuma inget aja, timbangan dosa kamu makin numpuk.
Lepas dari dosa, yang
itu full urusan pribadi. Daripada sibuk mengolok-ngolok, lebih baik jadiin
pengalaman dia sebagai inspirasi untuk intropeksi diri. Sadar, kalau rencana,
sukses dan gagal Cuma setipis kertas. Selain siap sama rencana untuk masa
depan, kita juga harus siapa menghadapi kegagalan. Bukan Cuma mendambakan
kesuksesan. So yuk berhenti menghina atau membuat guyonan dengan bahan yang
sebenanrnya nggak ada manfaatnya bukan kita, selain emang bisa bikin renyah
ketawa. Tapi coba sama-sama untuk memperbaiki diri, mana yang kurang di diri
kita, bukan justru sibuk mengoreksi atau menghina orang lain di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar