Selasa, 23 Agustus 2016

Mereka bilang, dia sakit jiwa



Hari ini saya merasakan banyak emosi yang saling tumpang tindih. Perasaan marah, sedih, kecewa juga sekaligus terenyuh.

Hari ini entah bagaimana, Allah mengijinkan saya melihat dia secara langsung. Sosok manusia yang menjadi “camilan” saat berbincang bersama. Mudahnya, dia sedang menjadi buah bibir di sekolah saya.
Dia adalah kakak kelas tingkat setahun di atas saya. Dari tingkahnya, sekilas tidak akan nampak menganai “gangguan kejiwaan” yang sering teman-teman saya bicarakan. Pun bila dilihat lebih jauh, dia masih nampak seperti anak normal.
Sedikit cerita, karena teman-teman saya sering membicarakan dia, saya iseng mencari akun instagram dia. Hanya ingin sekedar melihat, apa yang dia bicarakan ketika dia dalam kondisi seperti itu. Dan ternyata nahas sekali, ada yang salah dengan dirinya.  Walau sebenanrnya saya tidak ingin menyimpulkan demikian, ini hanya karena doktrin yang terlanjur tertanam saja di benak saya. Yang banyak mendengar cerita tentang ketiakwarasan dia. Jadinya saya asal ceplos dalam hati demikian.
Dalam akun instagranya, sebenarnya dia hanya mengupload beberapa foto. Seperti foto salah satu artis wanita yang kemudian oleh dia diisi caption, yang jika sebelumnya saya tidak tahu bila dia ada di kondisi seperti itu, mungkin saya hanya akan berkomentar “Hah, aneh-aneh saja anak ini.” Ya Cuma itu, saya pasti akan berpikir dia Cuma iseng, kurang kerjaan atau Cuma mengundang perhatian.
Jujur saja, saya tidak bilang dia gila, aneh atau tidak normal. Tidak, bahkan tidak bisa. Yang saya yakini, dia hanya sakit yah atau lebih tepatnya saya rasa dia hanya butuh teman. Teman yang benar-benar mengerti luka yang sedang dia hadapi saat ini.
Sedikit cerita lagi, sebelum dia berada di kondisi yang seperti itu. Menurut cerita yang saya dengar dari seorang teman, yang sering berinteraksi dengannya, tahun ini saat dia mendaftar sebagai salah seorang anggota tentara, dia gagal lolos seleksi. Cuma biasa sebenarnya masalahnya. Tapi tidak tahu, setiap orang memandang kegagalan dari sudut yang berbeda. Dan entah bagaimana, dia memilih sudut yang sulit ditempuh. Dia terguncang. Saya yakin itu.
Mungkin jika saya boleh mengira-ngira. Saat dia mengalami kegagalan tersebut, dia tidak punya seseorang yang membantunya bangkit atau minimal yang menghiburnya. Mungkin beban yang ia pikul sedemikian berantnya, juga tak ada siapapun yang membantunya, sampai dia jatuh tersenggal memilkul beban  itu sendirian. Atau kemungkina-kemungkinan lain yang tidak teraba oleh saya.
Namun, yang membuat saya haru adalah, pagi ini saya melihat ibunya yang gelisah bicara dengan beberapa guru dari sekolah saya. Mengenai anaknya yang tidak mau diajak pulang dan tetap berseliweran di sekolah ke sana kemari. Saya lihat bebrapa guru menyarankan untuk mengajaknya ke psikiater, ibunya menjawab sudah, namun anaknya marah-marah, karena tidak terima dianggap gila.
Berat sekali pasti masalah yang ditanggung ibunya. Saya pikir bukan perkara yang mudah mengurus anak apalagi dengan kondisi yang memilukan seperti itu. Saya selalu berdoa semoga ibunya selalu diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa.
Sampai dia pulang, entah mengapa ada beban berat yang menindih dada saya. Bukan karena ibunya ataupu kakak kelas saya itu. Tapi lebih kepada teman-teman saya, yang jujur saja, saya sering sekali mendengar mereka mengolok-ngolok, menghina atau hal sejenisnya kepada kakak kelas saya itu.
Saya tidak membela, tapi saya ingin bicara sebagai sesama manusia.
Bukan apa-apa, saya hanya merasa kasihan. Beban yang dia tanggung sudah sedemikian berat, mengapa tidak sama-sama mendoakan agar lekas sembuh, bukannya malah mengolok tanpa jenuh. Saya paham, masalah seperti itu memang sellau menarik untuk dibicarakan, tapi ada baiknya, mereka yang sekarang sedang kesusahan, dibantu, bila dengan materi tak mampu, doa di setiap sholatmu bisa kok untuk membantu. Allah Maha Mendengar.
Jangan sampai saat sibuk megolok-olok orang yang sejenis itu, kita lantas lupa, bila Allah ingin, kita bisa juga bernasib sama. Kita Cuma menunggu tenggat waktunya saja. Menghina orang dalam keadaan seperti dia, itu nggak lucu. Menghina juga nggak bakal membuat kamu kelihatan keren. Cuma inget aja, timbangan dosa kamu makin numpuk.
Lepas dari dosa, yang itu full urusan pribadi. Daripada sibuk mengolok-ngolok, lebih baik jadiin pengalaman dia sebagai inspirasi untuk intropeksi diri. Sadar, kalau rencana, sukses dan gagal Cuma setipis kertas. Selain siap sama rencana untuk masa depan, kita juga harus siapa menghadapi kegagalan. Bukan Cuma mendambakan kesuksesan. So yuk berhenti menghina atau membuat guyonan dengan bahan yang sebenanrnya nggak ada manfaatnya bukan kita, selain emang bisa bikin renyah ketawa. Tapi coba sama-sama untuk memperbaiki diri, mana yang kurang di diri kita, bukan justru sibuk mengoreksi atau menghina orang lain di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar