“Ada
Nanga dalam hidup Ken. Namun, sekarang semua itu tak lebih dari sekedar
kenangan.” Tulisku di buku catatan kecil, tempat
aku biasa menulis racikan kopi baru yang biasa kutawarkan pada pengunjung
kedai.
Nanga tetap menjadi
segelas kopi luwak favoritku. Segelas
kopi istimewa, yang punya caranya sendiri, untuk membuatku jatuh cinta tanpa
henti, dengan candu aroma ya yang membuat hatiku terus bergelora.
Tidak peduli, walau ia
sekarang justru meminta jus ketika berkunjung ke kedai kopiku.
Aneh bukan? Aku hanya
menyediakan kopi, di kedai yang berdekatan langsung dengan jalan raya ini. Tapi
demi dia, demi melihat dia menetap di kursi pojok dekat jendela, lokasi favoritnya,
aku rela meminta karyawanku untuk membeli buah mangga kesukaannya, untuk dibuat
jus. Sungguh, hanya untuk dia, aku rela berbuat apapun.
Aku tak tahu sejak
kapan Nanga mulai enggan meminum kopi. Padahal ia sama denganku, kopi adalah
oksigen bagi kembang kempis jantungnya.
“Mas
Ken, saya nggak minum kopi lagi. Saya lebih suka jus sekarang, jus mangga!”
kata Nanga ketika aku menawarkan kopi pagi itu, saat kota Jakarta sedang
dirundung gerimis di hari kamis. Waktu itu kulihat matanya berkilat-kilat,
penuh cahaya, yang membuat aku ingin terus menatapnya tanpa jeda.
“Kenapa?”
tanyaku singkat, mencoba menggeser kursi lebih dekat ke arahnya.
“Mmm
pokoknya nggak suka aja.” Lihat kopi luwakku ini mulai aneh, aku tahu ada yang
dia sembunyikan di balik matanya yang sekarang nampak dipenuhi lilin, terang
benderang seperti ada seseorang yang baru memuatnya bahagia habis-habisan.
“Tapi
dulu, kamu bilang kamu suka sekali dengan kopi, kenapa sekarang berubah?”
“Saya
baru tau, kopi itu ternyata nggak sehat kalau di konsumsi terus-terusan.”
Bohong. Aku yakin
sekali, dia sedang membohongiku. Lihat matanya sekarang enggan menatapku. Sebab
ia juga berlaku sama ketika ia membohongiku tentang siapa yang menjatuhkan biji
kopi kintamani, yang susah-susah kudapatkan dari Bali.
“Nga, kamu tidak sedang
membohongi saya ‘kan? Apa yang terjadi sebenarnya?” Ia menoleh lagi, menatap
mataku, lebih dalam dan entah mengapa aku merasa seperti ada mangnet yang
menarikku, untuk mendekat lalu berenang ke dalam matanya yang jernih.
“Kenapa saya harus
bohong sama Mas Ken?” katanya seraya mengulum senyum, dan sungguh, itu semakin
menampakkan bahwa ia jauh dari kebenaran yang ia ucapkan.
Ia menatap ke luar
jendela lagi. Membiarkan aku dan segala penasaranku bertarung.
“Saya kemarin bertemu
dengan seseorang.” Timer bom di hatiku mulai menghitung mundur. Lalu
kenapa bila dia bertemu dengan seseorang? Kenapa dia semuram ini sekarang? Gawat.
Apa dia pria? Apa dia membuat kopi luwakku jatuh cinta padanya? Apa dia.. ah..
“Siapa?” tanyaku
sewajar mungkin. Ah Nanga, andai kamu bisa dengar bagaimana tidak karuannya
degup jantungku di dalam sini. Dia memang biasa membuatku berdebar seperti ini,
dengan senyumnya. Tapi kali ini masalahnya beda, degup ini tanda bahaya bukan
tanda bahagia.
“Mm sebenarnya kami
sudah lama bertemu,” ia menggantung kalimatnya lagi, seperti ada ragu, malu
juga, ah entahlah apa yang dipikirkannya, aku tak sehebat itu menebak apa yang
ada di otaknya juga apa yang ia rasakan sekarang, juga termasuk bagaimana
perasaannya saat dia ada di dekatku. Aku tak pernah bisa.
Sedang dia diam, aku
juga diam. Tak memberikan jembatan untuknya bercerita, tapi dengan cepat ia
berbicara kembali, “Dia Mas Bram. Saya pikir saya jatuh cinta dengannya.” Dor!
Bomnya meledak. Jadi Bram, pria yang membuat ia harus melawan sedemikian kuat
candunya akan kopi, yang membuat ia harus berubah drastis ke arah jus? Minuman
yang katanya punya sejuta manfaat menyehatkan itu?
Oh, sekarang aku paham
sekali alasan Nanga. Alasan kesehatan. Ah, bullshit
. Aku tahu Nanga tak sepeduli itu dengan omongan orang, termasuk tentang bahaya
kopi bila dikonsumi tanpa henti. Sudah banyak orang yang coba menghentikannya,
tapi bagi Nanga kopi adalah segalanya, bukan sekedar oksigen, darah atau
penyokong hidup lainnya. Aku tahu itu dengan pasti.
Sedikit cerita untuk
menemukan kopi luwakku ini, aku harus jauh-jauh pergi dari Jakarta ke Aceh. Aku
bertemu dengan Nanga, saat aku melakukan jadwal bulananku travelling, serta mencari jenis-jenis
kopi yang belum pernah kutemui, untuk
kuracik menjadi menu baru di kedai. Sedang di Aceh, Nanga sedang melakukan
tugas kerjanya sebagai seorang jurnalis. Saat awal kami bertemu, Nanga bukanlah
pecinta kopi, bukan juga pembenci. Tapi setelah aku tunjukkan keahlianku dalam
meracik kopi, dia bilang dengan matanya yang membulat, “Mas Ken! Ini enak
sekali! Saya tidak tahu kalau rasa dan aroma kopi bisa semenggiurkan ini!”
Nanga mengatakannya dengan banyak kata seru di setiap kalimatnya, penuh
semangat seperti baru menemukan sebagian dirinya yang hilang.
“Mas Ken sungguh! Ini
enak sekali,” katanya seraya menyeruput kopi racikanku dengan hati-hati, “Eh
sebentar, Mas Ken tidak menambahkan nikotin ke dalamnya kan? Gila! Saya nggak
bisa berhenti minum dari tadi.” Kemudian kami sama-sama tertawa. Dan aku rasa,
mulai saat itulah aku jatuh cinta dengannya, sesederhana itu.
Sebenarnya bila
kuhitung-hitung, sudah banyak yang memuji kopi racikanku. Nanga hanya orang
kesekian atau lebih jelasnya, dia hanya wanita kesekian. Tapi entahlah,
dengannya aku bisa melupakan ritualku meminum kopi menjelang terbenamnya
mentari, hanya untuk menemaninya berkeliling kota, mencari bahan untuk tugas
jurnalisnya.
Suka yang aku
utarakan-yang tentu aku utarakan pada diriku sendiri- saat awal kami bertemu,
itu hanya suka untuk lucu-lucuan sebenarnya, ya jelasnya aku cuma suka saat itu
saja. Tunggu, jangan kau mengumpatku dengan kata “bajingan”. Tidak. Aku
sebenarnya cuma kagum dengan dia. Kepribadiannya, pengetahuannya yang luas,
wajahnya yang ayu, senyumnya yang menentramkan, tapi saat itu ada yang luput
dari perhatianku, yakni matanya. Yang sampai saat ini membuatku jatuh cinta
padanya tanpa jeda.
Karena di pertemuan
pertama, kami akhirnya berpisah. Melawan arus masing-masing. Aku yakin,
kehadirannya cuma untuk berkunjung bukan untuk menetap dalam hidupku. Lalu aku
kembali ke Jakarta, mulai menjalanai
rutinitas seperti biasanya, melupakannya, menyibukkan diri, membangun kedaiku
dengan berbagi inovasi.
Sampai di suatu pagi,
seorang wanita dengan kamera kecil di tangannya, memasuki kedai kopiku. Dia
adalah Nanga. Segelas kopi luwak favoritku.
“Wah ternyata nggak
sulit ya mencari Mas Ken, kalau kedainya seterkenal ini hehe,” katanya
menunjukkan barisan giginya, seraya menarik salah satu kursi kedai yang
terletak di sudut ruangan dekat jendela.
“Bagaimana kamu bisa
tahu tempat saya?” Kataku bodoh. Ya bodoh sekali aku saat itu, atau lebih
tepatnya aku kikuk. Dia ‘kan jurnalis, bukan masalah sulit mencari kedai kopi
ekspresi, nama kedaiku ini.
“Saya tahu dari teman
yang tinggal di Jakarta Mas. Kami ada janji di sini, dan waktu saya cari-cari informasi
tentang kedai ini di google, eh kok
saya ketemu wajah yang nggak asing. Ternyata pemiliknya Mas Ken sendiri,”
katanya masih dengan lengkung senyum
yang belum lepas dari bibir mungilnya.
“Oh gitu.” Kataku
sewajar mungkin. Tunggu, aku masih tampak wajar kan? Aku tidak tampak gugup
kan? Aku tidak tampak sedang mengagumi matanya yang teduh itu kan? Tidak kan?
Gila, kenapa wanita ini kurang ajar sekali, sampai membuat aku segugup ini.
“Jadi karena saya
pengen ngobrol sama Mas Ken dulu, saya sengaja datang lebih awal dari waktu janjian
saya dengan teman.” Sial! Kenapa dia harus mengatakan pernyataan itu, coba
kuulangi, karena saya pengen ngobrol sama
Mas Ken. Iya! Cuma untuk ngobrol dengan aku, dia rela datang lebih awal
dari jadwal yang seharusnya. God, help
me! Aku sudah jatuh terlalu dalam ke
hati wanita, yang Kau anugerahi bola mata bening nan mendamaikan ini.
Setelah kami berbicang
lama, aku tahu, Nanga ternyata berasal dari kota pendidikan, Yogyakarta. Ia
sekarang pindah ke Jakarta, karena kantornya pindah ke kota yang selalu macet
di setiap ruas jalannya ini. Aku tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana,
tapi yang jelas aku sudah benar-benar hanyut ke dalam diri Nanga. Aku tak bisa berkata
apa-apa lagi. Selain menatap bening matanya yang selalu di penuhi lentera
cahaya.
Setelah pertemuan kami
yang kedua. Nanga sering mengunjungi kedaiku, tidak tentu waktunya. Biasanya larut
malam atau bahkan sangat pagi, saat aku masih bersiap-siap akan membuka kedai.
Nanga yang kukenal
sampai saat ini adalah, gadis ceria dengan sejuta mimpi juga ambisi. Hidupnya
tak pernah surut akan sebuah cerita, mengingat dia juga seorang jurnalis, dimana
ia mengabdikan diri sebahis-habisnya dalam pekerjaan, yang katanya sudah ia
idam-idamkan sejak ia sudah mampu membaca dan menulis sendiri. Mimpi dari
kecil, yang sekarang sudah terwujud. Dan sama sepertiku, sesungguhnya saat
kutemukan Nanga dulu, entah kenapa aku
merasa, dialah yang nanti akan bersamaku mewujudkan mimpi-mimpi yang aku semai
sejak dulu.
Nangaku, cintaku, kopi
luwakku.
Sekarang ia sedang
jatuh cinta. Tapi entah mengapa, saat kulihat matanya, mereka seperti menampakkan episode rumit dalam
hati Nanga. Kadang terang, kadang juga muram. Seperti pria yang ia cintai saat
ini, menawarkan dua buah menu sekaligus,
cinta dan derita.
“Selain bertemu di
kedai ini, kami biasanya membuat janji sendiri untuk bertemu. Saya menyukai Mas
Bram dengan segala hal yang ia miliki tanpa alasan. Dia alasan saya bahagia
untuk dua bulan ini?” God! Bolehkah
aku mengumpat sekrang? Walau itu dalam hati? Jadi ini alasan sebenarnya,
mengapa ia jarang datang ke kedaiku? Hanya karena seorang pria yang sudah
kukenal semenjak aku duduk di bangku SMA, yang selalu ada mendukungku, walau
kami memilki visi dan misi hidup yang jauh berbeda.
Bram, dia adalah
sahabatku. Sekarang, dia berkerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta,
otaknya memang sangat cerdas, tidak heran ia dapat lulus dengan mudah dari
salah satu univeristas favorit di Bandung. Namun karena bidang profesi yang
ditekuninya inilah, kami pernah berseteru, persahabatan yang kami susun lama
hampir runtuh, hanya karena perbedaan pendapat. Adalah tentang kopi, yang
menjadi pucuk permasalahan perdebatan kami. Dia tidak setuju dengan kegilaanku
pada kopi yang telah tertaman di bagian terdalam diriku. Menurutnya, kopi sama
berbahayanya dengan rokok, bila dikonsumsi terus-terusan sampai membentuk
rutinitas sendiri, itu dapat membunuh diriku dengan perlahan. Walau sekarang,
efeknya sama sekali tidak kurasakan selain aku merasa tenang, ketika meneguk
kopi. Tapi....
Ya
aku tahu maksud dia baik, sebagai seorang sahabat memang sudah selayaknya dia
menasehati. Tapi bagiku kopi seperti ideologi, bila diluar sana sibuk memeluk
demokrasi, komunis, sosialis, sebagai tempat mereka berpijak, aku lebih meilih
kopi. Kopi itu barang sederhana, yang dapat menenangkan jiwa, bahkan dapat
menyatukan mereka dari ranah yang jauh berbeda. Walau pernyataan terkahir tidak
berlaku untukku dan Bram. Tapi beruntung, karena bagi kami, arti persahabatan
lebih berharga dari sekedar ego kekanakan, maka dalam waktu beberapa hari, kami
sudah sama-sama membuka diri untuk berbaikan kembali.
Aku
mendukung Bram dengan segala hal yang ia lakukan, begitu juga sebaliknya. Tapi
maaf tidak untuk kali ini Bram, aku tidak bisa membiarkanmu meneguk kopi
luwakku untukmu sendiri. Dia milikku, dia temuan yang paling menakjubkan selama
hidupku. Kamu tidak bisa merebutnya.
Dan
hatiku semakin riuh, saat kulihat mata kopi luwakku yang teduh mengeluarkan
cairan bening. Dia menangis. Dan itu karena..
“Tapi
baru-baru ini saya sadar. Bagi Mas Bram, saya cuma sahabatnya. Hubungan sama,
yang saya miliki dengan kamu Mas Ken.” Dor! Bom kedua meledak. Jadi selama ini,
kopi-kopiku belum mampu membuat Nanga jatuh cinta pada peraciknya. Dia hanya
menganggapku sahabat! CUMA SAHABAT KEN! BODOH.
“Saya
nggak tahu, kenapa soal hati saya bisa sebodoh ini, tapi yang jelas cuma Mas
Bram yang bisa membuat saya lepas dari yang namanya kopi. Kecanduan terberat
saya setelah buku.” Coba kuperjelas lagi, CUMA MAS BRAM, oh God
bisakah kau hentikan waktu sebentar? Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya
sekarang.
“Dulu saya pikir, Mas
Bram itu segelas kopi luwak favoritku,” Sial, kenapa dia memberi sebuatan yang
sama dariku? Dan itu untuk Bram, bukan untuk aku.
“Tapi ternyata dia
tidak suka kopi. Dia bicara panjang lebar, tentang bahaya kopi, cukup lama tapi
tidak apa, karena bagi saya, saat itu adalah kesempatan untuk menatap wajahnya
lebih lama.” Gila! Nanga benar-benar sudah jatuh dalam pelukan Bram.
“Tapi..” Nanga menekan
kalimatnya barusan. Seperti akan lahir beban berat dari mulut mungil yang ia
poles dengan lipstik warnah merah pucat.
“Tapi Mas Bram,
ternyata tidak pernah mencintai saya. Ia mencintai Fara, sahabat dekat saya.
Dan ternyata mereka sudah lama menjalin rasa. Kenapa saya bisa sebodoh ini sih
Mas Ken? Saya pikir kenapa Mas Bram, selalu sering mengajak saya bertemu,
ngobrol panjang, ternyata dia ingin mengenal Fara lebih dalam lewat saya.
Busuk! Mas Bram busuk! Dia pria terjahat yang pernah saya temui! Saya benci dia
Mas Ken!” Nanga mengakhiri kalimatnya dengan tangis tersedu-sedu, ia sudah
tidak kuat lagi berbicara. Kepalanya menunduk dalam. Dan aku hanya bisa
mengarahkan kepalanya ke pudakku. Biar saja, orang-orang kedai menatapmu nanar
Nangaku, kopi luwakku. Menangislah sepahit-pahitnya, sama seperti aku lupa
menaruh gula dalam kopi luwak favoritmu juga favoritku. Kamu masih punya aku,
di sini. Kamu masih tetap ada dalam diriku. Hadirmu tidak akan pernah menjadi
kenangan, walau kamu memilih pergi dengan pria lain yang membuat hatiku tak tentram.
Menangislah. Dan aku
akan ikut menangis bersamamu. Karena dalam diri Ken ada Nanga. Walau dalam
hidup Nanga tak pernah ada Ken. Tapi aku akan selalu bersamamu, tidak peduli
seberapa banyak luka yang harus aku tanggung, untuk melihatmu pergi ke lain
hati.
Menangislah, akan aku
seduhkan kopi luwak favoritmu. Walau kamu tak lagi menyukainya. Aku akan tetap
menunggumu untuk meneguknya kembali, bersamaku. Nangaku, kopi luwakku.
Saya bukan penggemar kopi. Saya cuma suka nulis dan
berbagi cerita yang saya miliki. Jika rindu, kamu bisa menemui saya, di tempat
saya biasa menyemai mimpi bernama peramurasa.blogspot.com dan instagram:
Rosyidasalsabila. Sampai jumpa, dalam cerita lainnya. Mari berenang dalam
samudra kata. Siapa tahu kita bertemu tak sengaja. Lalu menjalin asa bersama.
Keterangan:
1. Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi
Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
2. Sumber foto kopi (atas): red-balloon-in-hand.tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar