Minggu, 21 Agustus 2016

Ke(Nanga)n



“Ada Nanga dalam hidup Ken. Namun, sekarang semua itu tak lebih dari sekedar kenangan.” Tulisku di buku catatan kecil, tempat aku biasa menulis racikan kopi baru yang biasa kutawarkan pada pengunjung kedai.
Nanga tetap menjadi segelas kopi luwak favoritku.  Segelas kopi istimewa, yang punya caranya sendiri, untuk membuatku jatuh cinta tanpa henti, dengan candu aroma ya yang membuat hatiku terus bergelora.
Tidak peduli, walau ia sekarang justru meminta jus ketika berkunjung ke kedai kopiku.

Aneh bukan? Aku hanya menyediakan kopi, di kedai yang berdekatan langsung dengan jalan raya ini. Tapi demi dia, demi melihat dia menetap di kursi pojok dekat jendela, lokasi favoritnya, aku rela meminta karyawanku untuk membeli buah mangga kesukaannya, untuk dibuat jus. Sungguh, hanya untuk dia, aku rela berbuat apapun.
Aku tak tahu sejak kapan Nanga mulai enggan meminum kopi. Padahal ia sama denganku, kopi adalah oksigen bagi kembang kempis jantungnya.
            “Mas Ken, saya nggak minum kopi lagi. Saya lebih suka jus sekarang, jus mangga!” kata Nanga ketika aku menawarkan kopi pagi itu, saat kota Jakarta sedang dirundung gerimis di hari kamis. Waktu itu kulihat matanya berkilat-kilat, penuh cahaya, yang membuat aku ingin terus menatapnya tanpa jeda.
            “Kenapa?” tanyaku singkat, mencoba menggeser kursi lebih dekat ke arahnya.
            “Mmm pokoknya nggak suka aja.” Lihat kopi luwakku ini mulai aneh, aku tahu ada yang dia sembunyikan di balik matanya yang sekarang nampak dipenuhi lilin, terang benderang seperti ada seseorang yang baru memuatnya bahagia habis-habisan.
            “Tapi dulu, kamu bilang kamu suka sekali dengan kopi, kenapa sekarang berubah?”
            “Saya baru tau, kopi itu ternyata nggak sehat kalau di konsumsi terus-terusan.”
Bohong. Aku yakin sekali, dia sedang membohongiku. Lihat matanya sekarang enggan menatapku. Sebab ia juga berlaku sama ketika ia membohongiku tentang siapa yang menjatuhkan biji kopi kintamani, yang susah-susah kudapatkan dari Bali.
“Nga, kamu tidak sedang membohongi saya ‘kan? Apa yang terjadi sebenarnya?” Ia menoleh lagi, menatap mataku, lebih dalam dan entah mengapa aku merasa seperti ada mangnet yang menarikku, untuk mendekat lalu berenang ke dalam matanya yang jernih.
“Kenapa saya harus bohong sama Mas Ken?” katanya seraya mengulum senyum, dan sungguh, itu semakin menampakkan bahwa ia jauh dari kebenaran yang ia ucapkan.
Ia menatap ke luar jendela lagi. Membiarkan aku dan segala penasaranku bertarung.
“Saya kemarin bertemu dengan seseorang.” Timer  bom di hatiku mulai menghitung mundur. Lalu kenapa bila dia bertemu dengan seseorang? Kenapa dia semuram ini sekarang? Gawat. Apa dia pria? Apa dia membuat kopi luwakku jatuh cinta padanya? Apa dia.. ah..
“Siapa?” tanyaku sewajar mungkin. Ah Nanga, andai kamu bisa dengar bagaimana tidak karuannya degup jantungku di dalam sini. Dia memang biasa membuatku berdebar seperti ini, dengan senyumnya. Tapi kali ini masalahnya beda, degup ini tanda bahaya bukan tanda bahagia.
“Mm sebenarnya kami sudah lama bertemu,” ia menggantung kalimatnya lagi, seperti ada ragu, malu juga, ah entahlah apa yang dipikirkannya, aku tak sehebat itu menebak apa yang ada di otaknya juga apa yang ia rasakan sekarang, juga termasuk bagaimana perasaannya saat dia ada di dekatku. Aku tak pernah bisa.
Sedang dia diam, aku juga diam. Tak memberikan jembatan untuknya bercerita, tapi dengan cepat ia berbicara kembali, “Dia Mas Bram. Saya pikir saya jatuh cinta dengannya.” Dor! Bomnya meledak. Jadi Bram, pria yang membuat ia harus melawan sedemikian kuat candunya akan kopi, yang membuat ia harus berubah drastis ke arah jus? Minuman yang katanya punya sejuta manfaat menyehatkan itu?
Oh, sekarang aku paham sekali alasan Nanga. Alasan kesehatan. Ah, bullshit . Aku tahu Nanga tak sepeduli itu dengan omongan orang, termasuk tentang bahaya kopi bila dikonsumi tanpa henti. Sudah banyak orang yang coba menghentikannya, tapi bagi Nanga kopi adalah segalanya, bukan sekedar oksigen, darah atau penyokong hidup lainnya. Aku tahu itu dengan pasti.
Sedikit cerita untuk menemukan kopi luwakku ini, aku harus jauh-jauh pergi dari Jakarta ke Aceh. Aku bertemu dengan Nanga,  saat  aku melakukan jadwal bulananku travelling, serta mencari jenis-jenis kopi  yang belum pernah kutemui, untuk kuracik menjadi menu baru di kedai. Sedang di Aceh, Nanga sedang melakukan tugas kerjanya sebagai seorang jurnalis. Saat awal kami bertemu, Nanga bukanlah pecinta kopi, bukan juga pembenci. Tapi setelah aku tunjukkan keahlianku dalam meracik kopi, dia bilang dengan matanya yang membulat, “Mas Ken! Ini enak sekali! Saya tidak tahu kalau rasa dan aroma kopi bisa semenggiurkan ini!” Nanga mengatakannya dengan banyak kata seru di setiap kalimatnya, penuh semangat seperti baru menemukan sebagian dirinya yang hilang.
“Mas Ken sungguh! Ini enak sekali,” katanya seraya menyeruput kopi racikanku dengan hati-hati, “Eh sebentar, Mas Ken tidak menambahkan nikotin ke dalamnya kan? Gila! Saya nggak bisa berhenti minum dari tadi.” Kemudian kami sama-sama tertawa. Dan aku rasa, mulai saat itulah aku jatuh cinta dengannya, sesederhana itu.
Sebenarnya bila kuhitung-hitung, sudah banyak yang memuji kopi racikanku. Nanga hanya orang kesekian atau lebih jelasnya, dia hanya wanita kesekian. Tapi entahlah, dengannya aku bisa melupakan ritualku meminum kopi menjelang terbenamnya mentari, hanya untuk menemaninya berkeliling kota, mencari bahan untuk tugas jurnalisnya.
Suka yang aku utarakan-yang tentu aku utarakan pada diriku sendiri- saat awal kami bertemu, itu hanya suka untuk lucu-lucuan sebenarnya, ya jelasnya aku cuma suka saat itu saja. Tunggu, jangan kau mengumpatku dengan kata “bajingan”. Tidak. Aku sebenarnya cuma kagum dengan dia. Kepribadiannya, pengetahuannya yang luas, wajahnya yang ayu, senyumnya yang menentramkan, tapi saat itu ada yang luput dari perhatianku, yakni matanya. Yang sampai saat ini membuatku jatuh cinta padanya tanpa jeda.
Karena di pertemuan pertama, kami akhirnya berpisah. Melawan arus masing-masing. Aku yakin, kehadirannya cuma untuk berkunjung bukan untuk menetap dalam hidupku. Lalu aku kembali ke Jakarta, mulai  menjalanai rutinitas seperti biasanya, melupakannya, menyibukkan diri, membangun kedaiku dengan berbagi inovasi.
Sampai di suatu pagi, seorang wanita dengan kamera kecil di tangannya, memasuki kedai kopiku. Dia adalah Nanga. Segelas kopi luwak favoritku.
“Wah ternyata nggak sulit ya mencari Mas Ken, kalau kedainya seterkenal ini hehe,” katanya menunjukkan barisan giginya, seraya menarik salah satu kursi kedai yang terletak di sudut ruangan dekat jendela.
“Bagaimana kamu bisa tahu tempat saya?” Kataku bodoh. Ya bodoh sekali aku saat itu, atau lebih tepatnya aku kikuk. Dia ‘kan jurnalis, bukan masalah sulit mencari kedai kopi ekspresi, nama kedaiku ini.
“Saya tahu dari teman yang tinggal di Jakarta Mas. Kami ada janji di sini, dan waktu saya cari-cari informasi tentang kedai ini di google, eh kok saya ketemu wajah yang nggak asing. Ternyata pemiliknya Mas Ken sendiri,” katanya  masih dengan lengkung senyum yang belum lepas dari bibir mungilnya.
“Oh gitu.” Kataku sewajar mungkin. Tunggu, aku masih tampak wajar kan? Aku tidak tampak gugup kan? Aku tidak tampak sedang mengagumi matanya yang teduh itu kan? Tidak kan? Gila, kenapa wanita ini kurang ajar sekali, sampai membuat aku segugup ini.
“Jadi karena saya pengen ngobrol sama Mas Ken dulu, saya sengaja datang lebih awal dari waktu janjian saya dengan teman.” Sial! Kenapa dia harus mengatakan pernyataan itu, coba kuulangi, karena saya pengen ngobrol sama Mas Ken. Iya! Cuma untuk ngobrol dengan aku, dia rela datang lebih awal dari jadwal yang seharusnya. God, help me!  Aku sudah jatuh terlalu dalam ke hati wanita, yang Kau anugerahi bola mata bening nan mendamaikan ini.
Setelah kami berbicang lama, aku tahu, Nanga ternyata berasal dari kota pendidikan, Yogyakarta. Ia sekarang pindah ke Jakarta, karena kantornya pindah ke kota yang selalu macet di setiap ruas jalannya ini. Aku tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana, tapi yang jelas aku sudah benar-benar hanyut ke dalam diri Nanga. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Selain menatap bening matanya yang selalu di penuhi lentera cahaya.
Setelah pertemuan kami yang kedua. Nanga sering mengunjungi kedaiku, tidak tentu waktunya. Biasanya larut malam atau bahkan sangat pagi, saat aku masih bersiap-siap akan membuka kedai.
Nanga yang kukenal sampai saat ini adalah, gadis ceria dengan sejuta mimpi juga ambisi. Hidupnya tak pernah surut akan sebuah cerita, mengingat dia juga seorang jurnalis, dimana ia mengabdikan diri sebahis-habisnya dalam pekerjaan, yang katanya sudah ia idam-idamkan sejak ia sudah mampu membaca dan menulis sendiri. Mimpi dari kecil, yang sekarang sudah terwujud. Dan sama sepertiku, sesungguhnya saat kutemukan Nanga dulu,  entah kenapa aku merasa, dialah yang nanti akan bersamaku mewujudkan mimpi-mimpi yang aku semai sejak dulu.
Nangaku, cintaku, kopi luwakku.
Sekarang ia sedang jatuh cinta. Tapi entah mengapa, saat kulihat matanya,  mereka seperti menampakkan episode rumit dalam hati Nanga. Kadang terang, kadang juga muram. Seperti pria yang ia cintai saat ini,  menawarkan dua buah menu sekaligus, cinta dan derita.
“Selain bertemu di kedai ini, kami biasanya membuat janji sendiri untuk bertemu. Saya menyukai Mas Bram dengan segala hal yang ia miliki tanpa alasan. Dia alasan saya bahagia untuk dua bulan ini?” God! Bolehkah aku mengumpat sekrang? Walau itu dalam hati? Jadi ini alasan sebenarnya, mengapa ia jarang datang ke kedaiku? Hanya karena seorang pria yang sudah kukenal semenjak aku duduk di bangku SMA, yang selalu ada mendukungku, walau kami memilki visi dan misi hidup yang jauh berbeda.
Bram, dia adalah sahabatku. Sekarang, dia berkerja sebagai  dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta, otaknya memang sangat cerdas, tidak heran ia dapat lulus dengan mudah dari salah satu univeristas favorit di Bandung. Namun karena bidang profesi yang ditekuninya inilah, kami pernah berseteru, persahabatan yang kami susun lama hampir runtuh, hanya karena perbedaan pendapat. Adalah tentang kopi, yang menjadi pucuk permasalahan perdebatan kami. Dia tidak setuju dengan kegilaanku pada kopi yang telah tertaman di bagian terdalam diriku. Menurutnya, kopi sama berbahayanya dengan rokok, bila dikonsumsi terus-terusan sampai membentuk rutinitas sendiri, itu dapat membunuh diriku dengan perlahan. Walau sekarang, efeknya sama sekali tidak kurasakan selain aku merasa tenang, ketika meneguk kopi. Tapi....
            Ya aku tahu maksud dia baik, sebagai seorang sahabat memang sudah selayaknya dia menasehati. Tapi bagiku kopi seperti ideologi, bila diluar sana sibuk memeluk demokrasi, komunis, sosialis, sebagai tempat mereka berpijak, aku lebih meilih kopi. Kopi itu barang sederhana, yang dapat menenangkan jiwa, bahkan dapat menyatukan mereka dari ranah yang jauh berbeda. Walau pernyataan terkahir tidak berlaku untukku dan Bram. Tapi beruntung, karena bagi kami, arti persahabatan lebih berharga dari sekedar ego kekanakan, maka dalam waktu beberapa hari, kami sudah sama-sama membuka diri untuk berbaikan kembali.
            Aku mendukung Bram dengan segala hal yang ia lakukan, begitu juga sebaliknya. Tapi maaf tidak untuk kali ini Bram, aku tidak bisa membiarkanmu meneguk kopi luwakku untukmu sendiri. Dia milikku, dia temuan yang paling menakjubkan selama hidupku. Kamu tidak bisa merebutnya.
            Dan hatiku semakin riuh, saat kulihat mata kopi luwakku yang teduh mengeluarkan cairan bening. Dia menangis. Dan itu karena..
            “Tapi baru-baru ini saya sadar. Bagi Mas Bram, saya cuma sahabatnya. Hubungan sama, yang saya miliki dengan kamu Mas Ken.” Dor! Bom kedua meledak. Jadi selama ini, kopi-kopiku belum mampu membuat Nanga jatuh cinta pada peraciknya. Dia hanya menganggapku sahabat! CUMA SAHABAT KEN! BODOH.
            “Saya nggak tahu, kenapa soal hati saya bisa sebodoh ini, tapi yang jelas cuma Mas Bram yang bisa membuat saya lepas dari yang namanya kopi. Kecanduan terberat saya setelah buku.” Coba kuperjelas lagi, CUMA MAS BRAM, oh God  bisakah kau hentikan waktu sebentar? Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang.
“Dulu saya pikir, Mas Bram itu segelas kopi luwak favoritku,” Sial, kenapa dia memberi sebuatan yang sama dariku? Dan itu untuk Bram, bukan untuk aku.
“Tapi ternyata dia tidak suka kopi. Dia bicara panjang lebar, tentang bahaya kopi, cukup lama tapi tidak apa, karena bagi saya, saat itu adalah kesempatan untuk menatap wajahnya lebih lama.” Gila! Nanga benar-benar sudah jatuh dalam pelukan Bram.
“Tapi..” Nanga menekan kalimatnya barusan. Seperti akan lahir beban berat dari mulut mungil yang ia poles dengan lipstik warnah merah pucat.
“Tapi Mas Bram, ternyata tidak pernah mencintai saya. Ia mencintai Fara, sahabat dekat saya. Dan ternyata mereka sudah lama menjalin rasa. Kenapa saya bisa sebodoh ini sih Mas Ken? Saya pikir kenapa Mas Bram, selalu sering mengajak saya bertemu, ngobrol panjang, ternyata dia ingin mengenal Fara lebih dalam lewat saya. Busuk! Mas Bram busuk! Dia pria terjahat yang pernah saya temui! Saya benci dia Mas Ken!” Nanga mengakhiri kalimatnya dengan tangis tersedu-sedu, ia sudah tidak kuat lagi berbicara. Kepalanya menunduk dalam. Dan aku hanya bisa mengarahkan kepalanya ke pudakku. Biar saja, orang-orang kedai menatapmu nanar Nangaku, kopi luwakku. Menangislah sepahit-pahitnya, sama seperti aku lupa menaruh gula dalam kopi luwak favoritmu juga favoritku. Kamu masih punya aku, di sini. Kamu masih tetap ada dalam diriku. Hadirmu tidak akan pernah menjadi kenangan, walau kamu memilih pergi dengan pria lain yang membuat hatiku tak  tentram.
Menangislah. Dan aku akan ikut menangis bersamamu. Karena dalam diri Ken ada Nanga. Walau dalam hidup Nanga tak pernah ada Ken. Tapi aku akan selalu bersamamu, tidak peduli seberapa banyak luka yang harus aku tanggung, untuk melihatmu pergi ke lain hati.
Menangislah, akan aku seduhkan kopi luwak favoritmu. Walau kamu tak lagi menyukainya. Aku akan tetap menunggumu untuk meneguknya kembali, bersamaku. Nangaku, kopi luwakku.


Saya bukan penggemar kopi. Saya cuma suka nulis dan berbagi cerita yang saya miliki. Jika rindu, kamu bisa menemui saya, di tempat saya biasa menyemai mimpi bernama peramurasa.blogspot.com dan instagram: Rosyidasalsabila. Sampai jumpa, dalam cerita lainnya. Mari berenang dalam samudra kata. Siapa tahu kita bertemu tak sengaja. Lalu menjalin asa bersama.

 
      Keterangan:
   1. Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com


     2.  Sumber foto kopi (atas): red-balloon-in-hand.tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar