Rabu, 05 Oktober 2016

Kamu Jauh Lebih Hebat dari Saya



Kemarin saya bertengkar dengan seseorang. Sebentar. Biar saya perhalus, berdiskusi. Walau masing-masing dari kami sama berdarah-darahnya saat mengutarakan opini.
Mungkin berdebat saja, lebih tepat.

Ah sudah, tidak perlu diperpanjang lagi, apa istilah yang tepat untuk interaksi kami ini.
Tapi sungguh. Apa yang dia lakukan kepada saya, benar-benar membuat saya tidak nyaman.
Siang-siang sebuah pesan masuk ke akun line saya. Cuma pesan biasa sebenarnya. Dan saya balas sekenanya. Kemudian beberapa jam kemudian, masuk lagi pesan dari orang yang sama.
Sebelum saya lanjutkan ceritanya, biar saya jelaskan terlebih dahulu identitas orang yang mengirimi pesan tersebut.
Jadi dia adalah salah satu admin sebuah media partner di kota Malang. Untuk detailnya, mungkin tidak perlu saya bicarakan, kasihan, nanti citranya jadi buruk. Atau mungkkin jika saya berubah pikiran, bisa saya sebut sewaktu-waktu nama media partner tersebut  atau  langsung saja nama admin tersebut? Tapi mungkin tidak untuk sekarang.
Bagaimana awal mulanya saya bisa kenal dengan dia. Begini, sebagai penyelenggara sebuah lomba, saya membutuhkan beberapa media partner untuk mempromosikan lomba tersebut. Dari beberapa media partner yang saya hubungi, beberapa memberi tanggapan, seperti tarif yang harus dibayar, nomor contact person yang harus dihubungi dan lain sebagainya.
Beberapa media partner yang sudah membalas, saya tindak lanjuti. Tapi sayang, sebelum saya menindaklanjuti semua, handphone saya justru mengalami masalah yang tak terduga.
Kurang beruntung memang. Karena riwayat obrolan saya di Line menjadi hilang semua, dan sayapun juga lupa media partner mana saja yang sudah saya hubungi. Ya sudah. Tidak apa-apa.
Dan di saat inilah, di saat saya sudah mulai mengikhlaskan beberapa aplikasi yang terpaksa saya download ulang. Tiba-tiba justru sebuah pesan yang kurang mengenakkan masuk. Dia, yang selanjutnya akan saya sebut X saja, menanyakan bagaimana kelanjutan kerja sama kami, dengan cara yang tidak sopan.
Iya tidak sopan karena pertanyaan yang dia utarakan justru menyinggung saya, padahal saya sudah menjelaskan bila handphone saya sedang mengalami masalah, sehingga saya tidak bisa menghubunginya lagi.
Tapi ya begitu, oleh X jawaban saya justru dipentalkan sejauh-jauhnya, kemudian memosisikan saya seperti seorang tersangka yang tidak boleh membela diri. Namun sayang, dia memilih partner debat yang salah, karena saya tidak salah, saya bantai balik pernyataannya, sebab jika saya merasa benar, maka saya harus memperjuangkan.
Hingga percakapan kami berjalan cukup panjang dan sedikit emosional. Bahkan dia, yang katanya sedang mengenyam pendidikan s2 di dua kampus sekaligus di Malang, sedang magang di 12 media, sedang menggarap tesis dan sedang-sedang lainnya, yang pokoknya menunjukkan pada saya, bila dia hebat, bahkan dia sempat meninggalkan nama akun instagramnya di ruang obrolan kami.
Karena dia meninggalkan nama akun instagramnya, yasudah saya buka. Dan benar, saya akui dia hebat, jauh sekali dengan saya yang masih duduk di bangku sekolah tingkat akhir ini. Dia memang jauh lebih berpengalaman. Dan jauh lebih HEBAT.
Tapi sayang, di tengah kehebatannya itu, justru kemampuan dia berkomunikasi sangatlah buruk. Saya tidak bilang, saya lebih baik. Tapi setidaknya sebagai orang  yang telah bertemu banyak orang, telah mencapai banyak prsestasi, telah mengenyam bangku pendidikan sampai kuliah s2 di sebuah univeristas negeri, harusnya paham bagaimana menyaring kata-kata, mana yang baik untuk diutarakan, mana yang tidak.
Sampai akhir, kami terus berkirim pesan. Bahkan dia juga menantang untuk ketemuan, sebab dikiranya saya tidak paham etika-etika dalam bekerja sama dengan media partner. Iya benar, saya memang tidak paham. Saya mau, tapi juga menolak, karena saya disuruh pergi ke Malang, tapi kenapa kok saya yang repot. Karena dia sendiri yang sedari awal mencari masalah.
Dan setelah cukup lama berkutat dalam percakapan tersebut, mungkin karena kesibukannya, ia memilih untuk berhenti, bahkan janji ketemuan tadi, juga dibatalkan. Dia tiba-tiba minta maaf, mengakui kesalahannya. Dan saya Cuma membalsnya dengan, “Iya terima kasih, senang bisa mendengar pengalamanmu J
Sudah itu saja. Cerita ini selesai dan saya ingin melanjutkan mengerjakan pekerjaan rumah saya.  






                                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar