Rabu, 08 Juni 2016

(dulu) Teman Baik

Kemarin, kukunjungi lagi luka yang kau gores . Hatiku memang sedikit retak. Tapi luka itu tak mampu membuatku terisak.
Sebab aku lebih cukup kuat mengendalikan hatiku untuk saat ini, walau dulu aku harus berjuang mati-matian menahan air mata saat ada di depanmu. Karena sesungguhnya, kenyataan pahit tetaplah yang paling sulit untuk dihadapi. Seperti kamu, seorang teman yang diam-diam menusukku dari belakang. Tanpa aku tahu dalam jangka waktu yang juga tak aku tahu. Sebab setelah aku tahu dirimu yang sekarangpun, aku masih merasa bingung. Kamu yang dulu menusuk pisau belati, dengan kamu yang sekarang tampak baik hati, tak ada bedanya. Lengkung senyummu selalu sama sepanjang waktu.
Aku bodoh. Iya memang. Kamu yang aku kira baik-baik saja, ternyata menyimpan banyak duka. Sedang aku tidak menyadarinya. Entah aku yang terlampau bodoh hingga tak setetespun dustamu tampak, atau dari awal memang kamu yang terlampau licik, hingga aku bisa dibodohi olehmu. Ah. Tapi yang jelas sekarang aku tahu. Aku tahu, jika kamu bukanlah teman yang baik, yang akan mengantarku pada kata bahagia, bukan. kamu tidak bisa. Bahkan jika sekarangpun kamu sudah berubah, aku tetap tak bisa menerimamu. Sebab yang selama ini aku tahu, berkhianat adalah sebuah candu bagi manusia pengkhianat, sekalipun ia sudah berikrar takkan mengulanginya. Mereka bilang seperti itu, karena mereka telah tertangkap basah, sedang jika suatu saat tiba saat yang tepat, ia akan kembali berkhianat.
Tapi bukan berarti aku marah padamu, membencimu dengan segenap jiwaku. Bukan. kata-kata ini sering kujelaskan dalam postingan-postinganku sebelumnya, lihat baik-baik: walau aku benci setengah mati dengan orang yang melukai, tapi rasa itu tidak akan pernah kubawa mati atau kubiarkan lebih lama menetap dalam hati. Aku punya Allah yang senantiasa mengamati, Dia yang akan selalu mengerti bagaimana baiknya hukuman untuk kamu nanti. Begitu, jelas bukan? Aku tidak akan membencimu, walau pedang coba kau hunuskan beberapa kali, aku akan tetap diam, mencoba mengendalikan amarahku. Tapi untuk percaya, maaf aku sudah tak bisa. Sebab sekali kaca pecah, ia tidak akan bisa kembali seperti semula, walau dilem sekuat apapun, pasti akan selalu ada retak di sana-sini. Aku sebenarnya jenis manusia yang sulit percaya pada orang lain. Sekali aku percaya, aku bisa percaya padanya dalam waktu lama. Asal kamu tahu teman baikku, kamu sudah saya percaya sejak kita pertama berjumpa, tapi kamu membuangnya begitu saja, seperti rosok yang tak sedap dipandang mata. Jadi bila sekarang kamu lihat, aku tak sepercaya dulu padamu. Coba kamu berpikir, adakah luka yang pernah kau ukir di hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar