Kompetisi
yang sesungguhnya dalam hidup adalah, ketika kamu berhasil mengalahkan keraguan
yang ada dalam dirimu sendiri.
Ini mungkin akan jadi hari yang
kesekian kalinya. Saya merutuki diri saya dengan kata bodoh, lagi. Entah
bagaimana bisa saya tidak menggunakan otak yang sudah Allah berikan sebaik
mungkin. Lagi-lagi saya hanya bisa menyesal. Melupakan syukur yang harusnya
saya dahulukan. Andai kemarin-kemarin lebih percaya pada diri saya, apakah saya
sudah melangkah lebih jah dari tempat saya berdiri sekarang? Entahlah. Tapi
yang jelas saya sadar, yang selama ini membuat saya terus jalan di tempat ialah
bukan mereka yang mebenci saya, yang membuat semangat saya pudar, atau mereka
yang menyayangi saya, yang enggan melepas saya, untuk lebih jauh lagi. Bukan.
sebenarnya saya sendirilah yang menghalangi langkah saya. Selalu banyak
keraguan yang muncul, ketika saya ingin mencoba seuatu baru, lagi-lagi bukan
karena mereka yang menghina saya meremehkan saya, atau mereka yang menyayangi
saya, enggan melihat saya terluka jika saya gagal melakukannya.
Saya masih ingat sekali harinya,
entah mungkin hari itu akan menjadi titik balik saya dalam memandang hidup,
dengan lebih baik tentunya. Berkat seseorang yang secara tidak langsung sangat
berjasa. Sebenarnya kami baru bertemu tiga kali, tapi pertemuan kami yang
terakhir terus mengendap sampai sekarang. Adalah 28 Mei 2016 kemarin kami
berjumpa, pertemuan ketiga. Bukan pertemuan yang direncanakan, melainkan takdir
Tuhan. Kami tidak sengaja bertemu dalam sebuah ajang kompetisi di salah satu
universitas di kota. Saat pertama kali melihatnya, saya sedikit ragu apakah dia
pria yang sama, yang saya temui saat saya mengikuti sebuah lomba yang hanya
orang hebat dan beruntung bisa mengikutinya. Sebentar. Jangan kira saya menyombongkan
diri saya, lewat tulisan ini. Saya hanya orang beruntung kok, yang bisa ikut
lomba sekeren itu, sampai bertemu dengan orang-orang yang jauh hebat di atas
saya termasuk pria itu.
Saya ingat betul, waktu itu adalah
saat pertama saya bertemu dengannya. Dia pria tinggi, dengan badan sedikit
besar dan berkacamata. Pertemuan kami terjadi sudah beberapa tahun lalu,
mungkin empat atau lima tahun lalu. Tapi ajaib, saya masih mengingatnya walau
samar-samar. Di pertemuan kami yang pertama, saya tidak begitu tertarik dengan
sosoknya, tapi yang jelas saya tahu dia adalah salah satu siswa terbaik dari
salah satu sekolah terbaik di kotaku. Iya dia memiliki banyak predikat
“terbaik” dalam dirinya. Dan oleh karena predikat itulah, dia dan
teman-temannya yang lain berhasil membuat saya kalah, bahkan sebelum kami
bersaing dalam perlombaan yang sesungguhnya. Ya saya merasa kecil, di hadapan
mereka, karena saya juga sadar, saya bisa terplih sebagai salah satu wakil dari
kabupaten saat itu, karena hanya sebuah keeruntungan semata. Tapi Allah selalu luar biasa dengan segala
rencananya. Pertemuan yang sebentar itu ternyata menjelaskan makna-makna lain
dalam kehidupan saya selanjutnya.
Saat itu saya kalah mutlak. Ya tidak
apa. Hati saya tidak terlapmpau sakit. Karena sebelumnya, saya sudah yakin,
kemungkinannya kecil saya bisa lolos di tingkat provinsi. Tapi dia lolos, bersama saah sau temannya yang
juga sama “mengagumkan”nya seperti dia. Ya itu pantas. Mereka hebat, begitu
kata hati saya waktu itu. Dan pertemuan kedua kami kembali terjalin, saya
bertemu dengannya lagi ketika saya mengikuti salah satu seminar kepenulisan di
kota, di sebuah sekolah populer yang juga punya predikat terbaik. Kami bertemu
di situ, dan dia adalah salah satu siswa sekolah populer tersebut. Hal itu saya
ketahui dari seragam khas yang ia kenakan sata menghadiri seminar. Ya lagi-lagi
kami dipertemukan di tempat yang sama, dalam ketidak sengajaan. Kami tidak
saling sapa, bukannya saya enggan menyapa tapi sepertinya dia tidak punya
ingatan tentang saya. Baiklah tidak apa. Tapi saya masih mengingatnya, dia
adalah pria pintar juga hebat, saya yakin itu.
Pertemuan pertama dan ketiga saya
tidak ingat betul tanggal dan bulan tepatnya itu terjadi. Tapi di pertemuan
ketiga ini, saya ingat tanggalnya adalah 28 Mei 2016. Saya tidak bisa bilang
ini adalah kebetulan, saya lebih percaya ini adalah takdir yang Allah
rencanakan. Hari itu saya “belajar”
banyak darinya. Seseorang yang tidak sengaja saya temui hingga tiga kali.
Lagi-lagi kami dipertemukan karena sebuah ajang perlombaan. Lomba cerpen, saya
sudah menyangka dia suka menulis dan saya yakin tulisannya pasti sangat keren
dibandinkan tulisan saya, walau sebenarnya saya belum pernah membaca karyanya.
Tapi entahlah, keyakinan-keyakinan aneh itu tiba-tiba datang begitu saja. Hari
itu, kami harus mempresentasikan hasil cerpen karya kami, di depan juri juga
peserta lainnya yang sudah lolos seleksi. Sungguh. Saat saya tahu kami berada
dalam satu ajang lomba yang sama, kepercayaan diri yang sudah saya bangun kokoh
di rumah, perlahan didndingnya mulai retak. Seperti akan roboh dalam satu tiupan
angin.
Saya mendapat urutan maju lebih awal
daripada dia. Aman. Itu tandanya saya tidak perlu melihat “aksi” presentasinya
yang pasti hebat. Kali ini saya tidak mengada-ada, dia memang pandai dalam
bicara di depan umum, itu saya ketahui ketika di pertemuan kami yang pertama,
dia melakukan presentasi di depan umum dengan menakjubkan. Presentasi saya
lancar. Urutan saya selanjutnya adalah dia. Ya dia mendapat undian tepat di belakang
urutan saya. Dan benar. Dia presentasi dengan menakjubkan, ah sungguh saya
tidak berbohong apalagi mengada-ada. Dia benar-benar keren, apalagi saat dia
bercerita tentang isi karyanya, saya bisa menangkap bila cerpennya juga tidak
kalah kerennya dari presentasinya. Dia selesai prensentasi dengan sedikit
kritikan dari juri. Tapi keyakinan saya tetap tidak goyah, diam-diam saya sudah
mengurutkan kandidat-kandidat yang akan mendapat juara.
Jika dalam lomba yang bidangnya saya
tekuni seperti menulis ini, terkadang saya sangat percaya diri mematok diri
saya di urutan juara satu. Saya tidak bermaksud sombong, terkadang hal tersebut
juga saya gunakan untuk menambah “amunisi” kepercayaan diri saya. Tapi hari
itu, saya tak berani meletakkan nama saya dalam urutan juara satu, walaupun itu
hanya di pikiran saja. Tapi tetap saja, saya yakin dialah yang akan menjadi
juara satu. Dan di sini kehendak Allah dan doa Ibu mulai berjalan beriringan,
menciptakan kesepakatan untuk takdir saya. Di luar dugaan, ternyata sayalah
yang mendapat kandidat juara satu itu, bukan hanya dipikiran saya, tapi resmi
keluar dari mulut panitia. Sungguh saya benar-benar shock saat itu. Karena saat panitia menyebut juara 3 ataupun 2
tidak kepada saya, kepercayaan diri saya mulai menurun drastis. Saya pasti
tidak mendapatkan juaranya sama sekali, pikir saya saat itu. Karena tempat
untuk juara 2 dan 3 sudah ada yang menempati, dan untuk juara 1 pastilah pria
itu. Tapi kepercayaan yang selama kompetisi saya pupuk ternyata salah, sayalah
yang menepati tempat yang saya kira akan menjadi “singgasana” pria dengan
kehebatan yang sangat banyak itu.
Lalu apa yang sebenarnya coba saya
sampaikan dalam cerita di atas, yang panjangnya melebih 1000 kata? Apa hanya
omong kosong, pamer jika saya berhasil menang dalam perlombaan? Bukan. saya
bukan tipe orang yang suka menunjukkan apa yang sudah berhasil saya raih, itu
hanya menjauhkan saya pada keberhasilan-keberhasilan yang mungkin sedang Allah
siapkan. Jadi, yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah, coba percayalah pada
dirimu sendiri, jika kamu sendiri tidak percaya pada dirimu sendiri, bagaimana
bisa kesuksesan mau mempercayakan dirinya untukmu. Kamu atau saya tidak ingin
kan, keberhasilan, kesuksesan atau hal-hal hebat lainnya enggan percaya pada
kita, enggan hinggap di hidup kita barang sekalipun itu. Tentunya kamu sedang
menggelangkan kepala sekarang, karena sayapun juga begitu. Peremuan pertama,
kedua dan ketiga saya dnegan pria itu sebenarnya memiliki kesinambungan makna.
Dia yang saya kia hebat di awalnya, yang selalu berhasil mematahkan kepercayaan
diri saya ternyata saya juga bisa mengalahkannya. Saya sadar apa yang akhirnya
membuat saya tidak bisa mengungguli dia, keraguan saya. Andai dulu keraguan
yang saya miliki tidak saya pelihara, saya yakin saya bisa mengikuti
langkahnya, bahkan lebih cepat. Saya hanya tidak percaya pada kemampuan yang
saya miliki.
Kita mungkin sering bertemu dengan
orang-orang yang kita anggap hebat. Kemudian kita merendahkan diri, menanamkan
kepercayaan bila kita tidak akan mampu mengungguli langkahnya. Lalu di setiap
kompetisi yang kita ikuti, jika kita tidak sengaja bertemu dengannya, kita pasti
sudah kalah dulu, karena kepercayaan “sesat” yang sudah kita tanam dan semai
sejak awal. Andai kita mau menutup mata, lebih focus dalam menghebatkan diri,
bukannya hanya nyinyir iri atau rendah diri. Ya andai saja seperti itu, pasti
langkah kita tidak hanya mengikuti di belakangnya, pasti kita bisa melangkah
lebih jauh dan lebih cepat dari dia. Benar bukan, bila kompetisi yang
seungguhnya sebenarnya ada dalam diri kita, bagaimana kita melawan “musuh”
kita, rasa ragu, rendah diri dan hambatan lainnya yang justru datang dan kita
ciptakan sendiri. Semoga dengan tulisan ini, dalam kehidupan selanjtunya, kita
bisa berubah lebih baik, begitupun saya, say ajuga sedang dalam proses
“menghebat”kan diri saya. Ya semoga. Nanti akan banyak lagi rahasi-rahasia
takdir Tuhan yang bermakna, yang bisa saya bagikan. Dan dapat membuka jalan
kita bersama menuju kesuksesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar