Kamis, 02 Juni 2016

Keyakinan Sesat

Kompetisi yang sesungguhnya dalam hidup adalah, ketika kamu berhasil mengalahkan keraguan yang ada dalam dirimu sendiri.

            Ini mungkin akan jadi hari yang kesekian kalinya. Saya merutuki diri saya dengan kata bodoh, lagi. Entah bagaimana bisa saya tidak menggunakan otak yang sudah Allah berikan sebaik mungkin. Lagi-lagi saya hanya bisa menyesal. Melupakan syukur yang harusnya saya dahulukan. Andai kemarin-kemarin  lebih percaya pada diri saya, apakah saya sudah melangkah lebih jah dari tempat saya berdiri sekarang? Entahlah. Tapi yang jelas saya sadar, yang selama ini membuat saya terus jalan di tempat ialah bukan mereka yang mebenci saya, yang membuat semangat saya pudar, atau mereka yang menyayangi saya, yang enggan melepas saya, untuk lebih jauh lagi. Bukan. sebenarnya saya sendirilah yang menghalangi langkah saya. Selalu banyak keraguan yang muncul, ketika saya ingin mencoba seuatu baru, lagi-lagi bukan karena mereka yang menghina saya meremehkan saya, atau mereka yang menyayangi saya, enggan melihat saya terluka jika saya gagal melakukannya.
            Saya masih ingat sekali harinya, entah mungkin hari itu akan menjadi titik balik saya dalam memandang hidup, dengan lebih baik tentunya. Berkat seseorang yang secara tidak langsung sangat berjasa. Sebenarnya kami baru bertemu tiga kali, tapi pertemuan kami yang terakhir terus mengendap sampai sekarang. Adalah 28 Mei 2016 kemarin kami berjumpa, pertemuan ketiga. Bukan pertemuan yang direncanakan, melainkan takdir Tuhan. Kami tidak sengaja bertemu dalam sebuah ajang kompetisi di salah satu universitas di kota. Saat pertama kali melihatnya, saya sedikit ragu apakah dia pria yang sama, yang saya temui saat saya mengikuti sebuah lomba yang hanya orang hebat dan beruntung bisa mengikutinya. Sebentar. Jangan kira saya menyombongkan diri saya, lewat tulisan ini. Saya hanya orang beruntung kok, yang bisa ikut lomba sekeren itu, sampai bertemu dengan orang-orang yang jauh hebat di atas saya termasuk pria itu.
            Saya ingat betul, waktu itu adalah saat pertama saya bertemu dengannya. Dia pria tinggi, dengan badan sedikit besar dan berkacamata. Pertemuan kami terjadi sudah beberapa tahun lalu, mungkin empat atau lima tahun lalu. Tapi ajaib, saya masih mengingatnya walau samar-samar. Di pertemuan kami yang pertama, saya tidak begitu tertarik dengan sosoknya, tapi yang jelas saya tahu dia adalah salah satu siswa terbaik dari salah satu sekolah terbaik di kotaku. Iya dia memiliki banyak predikat “terbaik” dalam dirinya. Dan oleh karena predikat itulah, dia dan teman-temannya yang lain berhasil membuat saya kalah, bahkan sebelum kami bersaing dalam perlombaan yang sesungguhnya. Ya saya merasa kecil, di hadapan mereka, karena saya juga sadar, saya bisa terplih sebagai salah satu wakil dari kabupaten saat itu, karena hanya sebuah keeruntungan semata.  Tapi Allah selalu luar biasa dengan segala rencananya. Pertemuan yang sebentar itu ternyata menjelaskan makna-makna lain dalam kehidupan saya selanjutnya.
            Saat itu saya kalah mutlak. Ya tidak apa. Hati saya tidak terlapmpau sakit. Karena sebelumnya, saya sudah yakin, kemungkinannya kecil saya bisa lolos di tingkat provinsi. Tapi  dia lolos, bersama saah sau temannya yang juga sama “mengagumkan”nya seperti dia. Ya itu pantas. Mereka hebat, begitu kata hati saya waktu itu. Dan pertemuan kedua kami kembali terjalin, saya bertemu dengannya lagi ketika saya mengikuti salah satu seminar kepenulisan di kota, di sebuah sekolah populer yang juga punya predikat terbaik. Kami bertemu di situ, dan dia adalah salah satu siswa sekolah populer tersebut. Hal itu saya ketahui dari seragam khas yang ia kenakan sata menghadiri seminar. Ya lagi-lagi kami dipertemukan di tempat yang sama, dalam ketidak sengajaan. Kami tidak saling sapa, bukannya saya enggan menyapa tapi sepertinya dia tidak punya ingatan tentang saya. Baiklah tidak apa. Tapi saya masih mengingatnya, dia adalah pria pintar juga hebat, saya yakin itu.
            Pertemuan pertama dan ketiga saya tidak ingat betul tanggal dan bulan tepatnya itu terjadi. Tapi di pertemuan ketiga ini, saya ingat tanggalnya adalah 28 Mei 2016. Saya tidak bisa bilang ini adalah kebetulan, saya lebih percaya ini adalah takdir yang Allah rencanakan.  Hari itu saya “belajar” banyak darinya. Seseorang yang tidak sengaja saya temui hingga tiga kali. Lagi-lagi kami dipertemukan karena sebuah ajang perlombaan. Lomba cerpen, saya sudah menyangka dia suka menulis dan saya yakin tulisannya pasti sangat keren dibandinkan tulisan saya, walau sebenarnya saya belum pernah membaca karyanya. Tapi entahlah, keyakinan-keyakinan aneh itu tiba-tiba datang begitu saja. Hari itu, kami harus mempresentasikan hasil cerpen karya kami, di depan juri juga peserta lainnya yang sudah lolos seleksi. Sungguh. Saat saya tahu kami berada dalam satu ajang lomba yang sama, kepercayaan diri yang sudah saya bangun kokoh di rumah, perlahan didndingnya mulai retak. Seperti akan roboh dalam satu tiupan angin.
            Saya mendapat urutan maju lebih awal daripada dia. Aman. Itu tandanya saya tidak perlu melihat “aksi” presentasinya yang pasti hebat. Kali ini saya tidak mengada-ada, dia memang pandai dalam bicara di depan umum, itu saya ketahui ketika di pertemuan kami yang pertama, dia melakukan presentasi di depan umum dengan menakjubkan. Presentasi saya lancar. Urutan saya selanjutnya adalah dia. Ya dia mendapat undian tepat di belakang urutan saya. Dan benar. Dia presentasi dengan menakjubkan, ah sungguh saya tidak berbohong apalagi mengada-ada. Dia benar-benar keren, apalagi saat dia bercerita tentang isi karyanya, saya bisa menangkap bila cerpennya juga tidak kalah kerennya dari presentasinya. Dia selesai prensentasi dengan sedikit kritikan dari juri. Tapi keyakinan saya tetap tidak goyah, diam-diam saya sudah mengurutkan kandidat-kandidat yang akan mendapat juara.
            Jika dalam lomba yang bidangnya saya tekuni seperti menulis ini, terkadang saya sangat percaya diri mematok diri saya di urutan juara satu. Saya tidak bermaksud sombong, terkadang hal tersebut juga saya gunakan untuk menambah “amunisi” kepercayaan diri saya. Tapi hari itu, saya tak berani meletakkan nama saya dalam urutan juara satu, walaupun itu hanya di pikiran saja. Tapi tetap saja, saya yakin dialah yang akan menjadi juara satu. Dan di sini kehendak Allah dan doa Ibu mulai berjalan beriringan, menciptakan kesepakatan untuk takdir saya. Di luar dugaan, ternyata sayalah yang mendapat kandidat juara satu itu, bukan hanya dipikiran saya, tapi resmi keluar dari mulut panitia. Sungguh saya benar-benar shock saat itu. Karena saat panitia menyebut juara 3 ataupun 2 tidak kepada saya, kepercayaan diri saya mulai menurun drastis. Saya pasti tidak mendapatkan juaranya sama sekali, pikir saya saat itu. Karena tempat untuk juara 2 dan 3 sudah ada yang menempati, dan untuk juara 1 pastilah pria itu. Tapi kepercayaan yang selama kompetisi saya pupuk ternyata salah, sayalah yang menepati tempat yang saya kira akan menjadi “singgasana” pria dengan kehebatan yang sangat banyak itu.
            Lalu apa yang sebenarnya coba saya sampaikan dalam cerita di atas, yang panjangnya melebih 1000 kata? Apa hanya omong kosong, pamer jika saya berhasil menang dalam perlombaan? Bukan. saya bukan tipe orang yang suka menunjukkan apa yang sudah berhasil saya raih, itu hanya menjauhkan saya pada keberhasilan-keberhasilan yang mungkin sedang Allah siapkan. Jadi, yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah, coba percayalah pada dirimu sendiri, jika kamu sendiri tidak percaya pada dirimu sendiri, bagaimana bisa kesuksesan mau mempercayakan dirinya untukmu. Kamu atau saya tidak ingin kan, keberhasilan, kesuksesan atau hal-hal hebat lainnya enggan percaya pada kita, enggan hinggap di hidup kita barang sekalipun itu. Tentunya kamu sedang menggelangkan kepala sekarang, karena sayapun juga begitu. Peremuan pertama, kedua dan ketiga saya dnegan pria itu sebenarnya memiliki kesinambungan makna. Dia yang saya kia hebat di awalnya, yang selalu berhasil mematahkan kepercayaan diri saya ternyata saya juga bisa mengalahkannya. Saya sadar apa yang akhirnya membuat saya tidak bisa mengungguli dia, keraguan saya. Andai dulu keraguan yang saya miliki tidak saya pelihara, saya yakin saya bisa mengikuti langkahnya, bahkan lebih cepat. Saya hanya tidak percaya pada kemampuan yang saya miliki.
            Kita mungkin sering bertemu dengan orang-orang yang kita anggap hebat. Kemudian kita merendahkan diri, menanamkan kepercayaan bila kita tidak akan mampu mengungguli langkahnya. Lalu di setiap kompetisi yang kita ikuti, jika kita tidak sengaja bertemu dengannya, kita pasti sudah kalah dulu, karena kepercayaan “sesat” yang sudah kita tanam dan semai sejak awal. Andai kita mau menutup mata, lebih focus dalam menghebatkan diri, bukannya hanya nyinyir iri atau rendah diri. Ya andai saja seperti itu, pasti langkah kita tidak hanya mengikuti di belakangnya, pasti kita bisa melangkah lebih jauh dan lebih cepat dari dia. Benar bukan, bila kompetisi yang seungguhnya sebenarnya ada dalam diri kita, bagaimana kita melawan “musuh” kita, rasa ragu, rendah diri dan hambatan lainnya yang justru datang dan kita ciptakan sendiri. Semoga dengan tulisan ini, dalam kehidupan selanjtunya, kita bisa berubah lebih baik, begitupun saya, say ajuga sedang dalam proses “menghebat”kan diri saya. Ya semoga. Nanti akan banyak lagi rahasi-rahasia takdir Tuhan yang bermakna, yang bisa saya bagikan. Dan dapat membuka jalan kita bersama menuju kesuksesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar