Rabu, 08 Juni 2016

Meraba Kenangan

Hari ini aku dibuat lupa lagi. Lupa bila aku sedang  dalam proses melupakanmu. Ah rumit sekali. Harusnya sederhana saja bukan, intinya aku gagal melupakanmu, lagi. 
Dia yang berkumis, yang membuatku ingat lagi kepadamu yang menitipkan kenangan manis.


Sial. Harusnya tadi tak kudengar sajak-sajak gombal yang membawa aku  kembali padamu, pada segala kenangan yang mengantarku kembali padamu. Tapi semua telah terjadi. Aku telah mendengar semuanya, dalam durasi waktu satu jam lebih. Dan selesainya, aku hanya bisa merenung lama, ternyata hati yang selama ini aku anggap  baik-baik saja, cuma omong kosong belaka. Ia masih retak di setiap bagiannya, dan siap pecah kapanpun. Seperti saat ini.
Aku mengenalnya hari ini, lewat sebuah seminar panjang yang menyenangkan. Dia membagikan kisah patah hatinya. Lalu bagaimana kemudian ia mengelolanya dalam buku novel berjudul Distilasi Alkena. Sebenarnya aku iri. Dia pandai memanfaatkan situasi. Bukan tentang materi yang ia dapat setelah menerbitkan buku patah hati, tapi tentang bagaimana ia  menuangkan perih dalam bentuk buku yang terjual laris di sana-sini sambil berproses menyembuhkan hati. 
Hari ini sebenarnya, aku ingin membeli bukunya, kemudian meminta tanda tangannya dan berfoto ria, langsung. Karena kesempatan bersua tidak selalu datang pada kali kedua. Seperti  peretemuan denganmu. Ash. Lagi-lagi tulisan ini tentang kamu. Tapi sayang,waktu tak mengijinkanku berlama-lama menetap, aku harus pergi, dan aku tak sempat membeli apalagi meminta foto bersama.
Bukan jodoh. Mungkin itu kata yang tepat. Seperti aku dan kamu yang tak kunjung diberi ruang oleh waktu untuk bertemu. Tapi bagaimanapun itu, aku telah jatuh ke dalam pusaran kata-katanya yang manis tapi juga teoritis. Dia penulis yang unik. Memainkan setiap istilah rumit, menjadi kata yang legit. Dan aku suka. Andai nanti kami kembali bersua, saya akan menanyakan banyak pertanyaan yang tak sempat terucap. Menyerap segala ilmu yang dia punya, juga mungkin mendengarkan dia berbagi kisah patah hatinya. Yang mungkin sama, seperti kisah yang kita punya.
Juga untuk kamu, bila pada akhirnya waktu menyediakan “waktu berkunjung”. Aku tak ingin menggenggam tanganmu erat, aku akan tetap diam di tempatku. Menunggu kamu berkata, “Takdir yang telah membawa aku kembali padamu.”

Sekian. Dari hati yang sedang mengunjungi kenangan.

5 Juni '16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar