Sebelum
memulai tulisanku, aku ingin meminta waktumu sedikit untuk bertanya satu
pertanyaan, ya ini akan berkaitan dengan rasa yang akan kutumpah ruahkan dalam
tulisan ini. Begini, bagaimana perasaanmu ketika kamu sudah memasrahkan
segalanya kepada seseorang yang ia berkata akan selalu bersamamu, kemudian
seseorang itu tiba-tiba berkata, “Maaf aku tak bisa lagi bersamamu, seseorang
telah memilihku untuk menjadi miliknya.”
Sebal? Marah? Ingin menjambak rambutnya? Atau lebih dari itu? Lalu bagaimana dengan jawabanku sendiri. Hm, aku mungkin akan berkata padanya, “Lalu bagaimana denganku? Bukankah sebelum dia, aku telah lebih dulu memilihmu untuk menjadi milikku?” dan kau tahu, pertanyaan serupa telah kulontarkan pada seseorang itu hari ini, saat matahari sedang terik-teriknya bersinar pongah. Lalu kau tahu apa jawabannya, “Ah iya, aku lupa. Tapi maaf aku sudah terlanjur menerimanya.” Busuk. Ingin sekali rasanya aku kembali mendebatnya, “Dan, bukankah sebelumnya kau juga sudah menerimaku?” Tapi aku malas. Tak berguna. Karena aku rasa hal itu akan menjadi panjang dan tak bermakna seperti sinetron-sinetron di tv dengan berjuta episode tapi tak pernah kupahami maksud dan tujuan pembuatannya.
Sebal? Marah? Ingin menjambak rambutnya? Atau lebih dari itu? Lalu bagaimana dengan jawabanku sendiri. Hm, aku mungkin akan berkata padanya, “Lalu bagaimana denganku? Bukankah sebelum dia, aku telah lebih dulu memilihmu untuk menjadi milikku?” dan kau tahu, pertanyaan serupa telah kulontarkan pada seseorang itu hari ini, saat matahari sedang terik-teriknya bersinar pongah. Lalu kau tahu apa jawabannya, “Ah iya, aku lupa. Tapi maaf aku sudah terlanjur menerimanya.” Busuk. Ingin sekali rasanya aku kembali mendebatnya, “Dan, bukankah sebelumnya kau juga sudah menerimaku?” Tapi aku malas. Tak berguna. Karena aku rasa hal itu akan menjadi panjang dan tak bermakna seperti sinetron-sinetron di tv dengan berjuta episode tapi tak pernah kupahami maksud dan tujuan pembuatannya.
Saat
itu, rasanya aku ingin menangis. Ya rasanya, aku seperti dikhianati kawan
sendiri, ah aku lupa dia memang kawanku. Hanya kawan sebenarnya, bukan sahabat
karena sebagian hatiku masih meragukan jenis kesetiaannya yang datang pergi
seperti debur ombak. Seperi hari ini, dia (lagi-lagi)meninggalkan aku sendiri,
menanggalkan kepercayaanku padanya, mengabaikanku kemudian pergi dengan teman
yang lainnya. Sudah biasa sebenarnya, dulu sewaktu aku pergi study tour ke
suatu tempat yang penuh dengan kepercayaan akan dewa-dewa, dia juga tak begitu menganggap ada keberadaanku, dia asik bermain dengan temannya yang lain, dan hanya datang saat dalam tanda kutip menginginkanku. Saat itu aku ingin sekali marah di depannya, tapi buat apa, hatinya terkadang terlalu keras untuk memahami manusia lainnya. Seperti hari ini, dia mungkin tak sadar bila dia telah melukai hati salah satu kawannya, oh maaf aku ralat, dia sepertinya sudah mulai sadar ya setelah aku mulai sedikit “dingin” padanya. Padahal, biasanya kami saling bercanda, tertawa bersama. Tapi hari ini, setelah kejadian tersebut, aku memilih sedikit diam, bukan sepenuhnya. Aku hanya tak ingin menatap matanya untuk sesaat, entah sampai kapan, besok atau lusa, tapi yang jelas tak sampai tiga hari lebih, karena dalam agama islam itu tidak boleh, bermarahan kepada saudara sesama muslim lebih dari tiga hari.
suatu tempat yang penuh dengan kepercayaan akan dewa-dewa, dia juga tak begitu menganggap ada keberadaanku, dia asik bermain dengan temannya yang lain, dan hanya datang saat dalam tanda kutip menginginkanku. Saat itu aku ingin sekali marah di depannya, tapi buat apa, hatinya terkadang terlalu keras untuk memahami manusia lainnya. Seperti hari ini, dia mungkin tak sadar bila dia telah melukai hati salah satu kawannya, oh maaf aku ralat, dia sepertinya sudah mulai sadar ya setelah aku mulai sedikit “dingin” padanya. Padahal, biasanya kami saling bercanda, tertawa bersama. Tapi hari ini, setelah kejadian tersebut, aku memilih sedikit diam, bukan sepenuhnya. Aku hanya tak ingin menatap matanya untuk sesaat, entah sampai kapan, besok atau lusa, tapi yang jelas tak sampai tiga hari lebih, karena dalam agama islam itu tidak boleh, bermarahan kepada saudara sesama muslim lebih dari tiga hari.
Apa
aku membencinya sekarang? Ah tidak. Aku tidak akan pernah mengijinkan rasa yang
merusak hati itu, bersemayam di relung hatiku. Yang jelas untuk sekarang, aku
hanya tak ingin berbicara dengannya, karena kalau tidak memori-memori hari ini
seperti terulang kembali setiap aku berbincang dengannya dan aku benci itu,
karena di saat itu mataku selalu berkaca-kaca ingin menangis. Cengeng. Benar,
hatiku terlalu lemah, padahal banyak orang menganggapku jenis wanita yang keras,
tapi itu mungkin tampak luarnya saja, hatiku terkadang bisa begitu rapuh,
ketika aku merasakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi malah terjadi begitu
saja dalam hidupku. Seperti hari ini.
Dan dari kejadian hari
ini, aku memelajari satu hal begini, bagaimanapun kau menyayanginya, seberapa
lamapun kamu hidup dengannya, dan kemanapun kamu pergi bersamanya. Itu tidak
akan pernah menjamin, dia akan selalu ada, karena itu jangan pernah
menggantungkan diri pada orang lain, mandirilah! Karena sesungguhnya, hanya
Allah satu-satunya tempat bergantung, dan satu-satunya yang akan setia entah
dalam keadaan tawa ataupun lara. Semoga engkau selalu dalam lindungan Tuhan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar