Minggu, 03 Desember 2017

Melepas Kenangan yang telah Kebas, Juga Hatimu yang Lebih Dulu Hempas



Aku banyak tersenyum hari ini. Bukan karena aku sedang bahagia. Tapi baru saja, aku beranikan diri, mengunjungi kenangan kita yang telah (hampir) mati. Tentang pesan-pesan tanpa makna, yang justru membuat aku sudah tidur menjelang malam tiba.

 Aku sadar, hubungan yang kita miliki dulu sangatlah rumit. Tapi sepertinya kita bahagia. Dalam ketidakjelasan rasa, yang tertuang dalam percakapan lama. Ada asa yang kuselipkan di sana, bersama rindu yang tak bermuara.
Ya! Aku bahagia dengan kamu di sampingku, menertawakan senja seraya menuang kopi bersama. Tapi tidak tau dengan kamu, apakah sama? Tapi aku lebih memilih abai. Kejelasan bukan syarat untukku bahagia. Selama kamu ada.
 Sebab sampai kita sepakat menciptakan sekat. Kita sama-sama terjebak dalam hubungan tanpa lisan yang terucap. Terombang-ambing kesana-kemari. Dan siap karam sewaktu-waktu. Tanpa ada yang tahu siapa yang lebih dulu pergi bersama waktu. Seperti saat ini.
Karena pada akhirnya kita sama-sama mengendurkan pegangan kita. Memutuskan berjalan sendiri-sendiri. Dengan kenangan yang lupa kau bawa pergi. Dan aku terus setia menjaganya, tanpa kau beri janji, bila kau akan kembali.
Sedang aku masih di sini. Di tepi pantai menunggu kembalinya kamu. Seraya menjahit hati yang robek dengan benang rindu yang kau pintal dulu.. Seraya tetap menyemogakanmu memilihku menjadi pelabuhanmu hingga kamu terkafani.
Tapi waktu berjalan tanpa henti. Meninggalkan aku bersama kenangan yang tak kunjung mati. Sedang aku terus mencoba membunuhnya, tapi dia selalu lolos dari mautnya. Hingga pada akhirnya dia sekarat, bersama rindu yang penuh karat.
Jika pada akhirnya kamu kembali. Aku tak tahu harus menyediakan teh atau kopi. Karena aku sendiri tak yakin, apakah kopi masih menjadi temanmu bersantai. Atau kau telah berpindah hati, menuju jahe yang kau pilih sebagai teman penikmat hujan.

Tapi tidak apa, aku akan tetap menunggu, hingga kopiku kau sentuh. Walau pada akhirnya akan dingin. Aku akan tetap menunggumu meneguknya. Agar kamu tahu, kopi masih menjadi wakil dari adanya dirimu.
Waktu memang dapat merubah segalanya. Termasuk juga aku. Mungkin aku tampak sama, memujamu dalam bisu yang tak berkesudahan. Menuliskanmu dalam sajak-sajak berdarah tanpa arah. Tapi siapa yang tahu, bila aku tak lagi suka kopi manis yang selalu kau pesankan untukku.
Rindu, kenangan juga kopi. Hanya omong kosong pemanis puisi. Sebab pada kenyataannya, waktu telah menggerus semuanya bersama matahari yang ditelan senja, termasuk kita yang dulu pernah tenggelam dalam  cinta yang bersembunyi dalam kata.
Karena pada akhirnya, pantai yang selalu kudiami telah termakan tsunami. Ia lenyap membawa serta kenangan tentang aku dan kamu yang penuh arti. Tentang rindu yang tak kunjung usai. Dan kisah patah hati yang belum terakhiri.
Maaf, aku tak bisa lagi menuang kopi di pagi hari. Untuk merayakan perpisahan paling tidak manusiawi. Aku lebih memilih racun yang kuteguk bersama kenagan. Agar ia hilang bersama ruhku yang melayang. Lalu kembali menjadi manusia baru yang lupa kamu.
Kita sudah terjebak terlalu lama dalam  jalan  cinta yang berkubang. Kita terseok di dalamnya. Membiarkan kaki-kaki kita luka. Kita memang sama-sama mengobati. Tapi kita lupa. Bila bahagia tak pernah dapat kita rengkuh bersama.

Selamat jalan. Wahai penguasa angan. Rindu, kopi dan kenangan. Telah kutinggalkan mereka di sudut jalan. Bila tak kau  temukan. Kau bisa tanya, bapak penyapu jalan. Aku tak bisa lama menetap karena akan turun hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar