Aku banyak tersenyum
hari ini. Bukan karena aku sedang bahagia. Tapi baru saja, aku beranikan diri,
mengunjungi kenangan kita yang telah (hampir) mati. Tentang pesan-pesan tanpa
makna, yang justru membuat aku sudah tidur menjelang malam tiba.
Aku sadar, hubungan
yang kita miliki dulu sangatlah rumit. Tapi sepertinya kita bahagia. Dalam
ketidakjelasan rasa, yang tertuang dalam percakapan lama. Ada asa yang
kuselipkan di sana, bersama rindu yang tak bermuara.
Ya! Aku bahagia dengan
kamu di sampingku, menertawakan senja seraya menuang kopi bersama. Tapi tidak
tau dengan kamu, apakah sama? Tapi aku lebih memilih abai. Kejelasan bukan syarat
untukku bahagia. Selama kamu ada.
Sebab sampai kita
sepakat menciptakan sekat. Kita sama-sama terjebak dalam hubungan tanpa lisan
yang terucap. Terombang-ambing kesana-kemari. Dan siap karam sewaktu-waktu.
Tanpa ada yang tahu siapa yang lebih dulu pergi bersama waktu. Seperti saat
ini.
Karena pada akhirnya
kita sama-sama mengendurkan pegangan kita. Memutuskan berjalan sendiri-sendiri.
Dengan kenangan yang lupa kau bawa pergi. Dan aku terus setia menjaganya, tanpa
kau beri janji, bila kau akan kembali.
Sedang aku masih di
sini. Di tepi pantai menunggu kembalinya kamu. Seraya menjahit hati yang robek
dengan benang rindu yang kau pintal dulu.. Seraya tetap menyemogakanmu
memilihku menjadi pelabuhanmu hingga kamu terkafani.
Tapi waktu berjalan
tanpa henti. Meninggalkan aku bersama kenangan yang tak kunjung mati. Sedang
aku terus mencoba membunuhnya, tapi dia selalu lolos dari mautnya. Hingga pada
akhirnya dia sekarat, bersama rindu yang penuh karat.
Jika pada akhirnya kamu
kembali. Aku tak tahu harus menyediakan teh atau kopi. Karena aku sendiri tak
yakin, apakah kopi masih menjadi temanmu bersantai. Atau kau telah berpindah
hati, menuju jahe yang kau pilih sebagai teman penikmat hujan.
Tapi tidak apa, aku
akan tetap menunggu, hingga kopiku kau sentuh. Walau pada akhirnya akan dingin.
Aku akan tetap menunggumu meneguknya. Agar kamu tahu, kopi masih menjadi wakil
dari adanya dirimu.
Waktu memang dapat
merubah segalanya. Termasuk juga aku. Mungkin aku tampak sama, memujamu dalam
bisu yang tak berkesudahan. Menuliskanmu dalam sajak-sajak berdarah tanpa arah.
Tapi siapa yang tahu, bila aku tak lagi suka kopi manis yang selalu kau
pesankan untukku.
Rindu, kenangan juga
kopi. Hanya omong kosong pemanis puisi. Sebab pada kenyataannya, waktu telah
menggerus semuanya bersama matahari yang ditelan senja, termasuk kita yang dulu
pernah tenggelam dalam cinta yang
bersembunyi dalam kata.
Karena pada akhirnya, pantai
yang selalu kudiami telah termakan tsunami. Ia lenyap membawa serta kenangan
tentang aku dan kamu yang penuh arti. Tentang rindu yang tak kunjung usai. Dan
kisah patah hati yang belum terakhiri.
Maaf, aku tak bisa lagi
menuang kopi di pagi hari. Untuk merayakan perpisahan paling tidak manusiawi.
Aku lebih memilih racun yang kuteguk bersama kenagan. Agar ia hilang bersama ruhku
yang melayang. Lalu kembali menjadi manusia baru yang lupa kamu.
Kita sudah terjebak
terlalu lama dalam jalan cinta yang berkubang. Kita terseok di
dalamnya. Membiarkan kaki-kaki kita luka. Kita memang sama-sama mengobati. Tapi
kita lupa. Bila bahagia tak pernah dapat kita rengkuh bersama.
Selamat jalan. Wahai
penguasa angan. Rindu, kopi dan kenangan. Telah kutinggalkan mereka di sudut
jalan. Bila tak kau temukan. Kau bisa
tanya, bapak penyapu jalan. Aku tak bisa lama menetap karena akan turun hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar