Malam ini, aku putar lagi lagu dari Mike
Mohede-Semua untuk Cinta. Lagu yang kami nyanyikan di depan api unggun, seusai
sesi heart to heart.
Memoriku kembali ke hari itu. Hari dimana akhirnya
aku memutuskan untuk bercerita, dengan orang-orang yang sebenarnya masih asing
bagiku. Kami baru mengenal kurang lebih 3 bulan lalu.
Awal-awal aku sempat berkata, “Aku bukan tipe orang
yang mudah membagikan cerita hidupku. 5 atau bahkan 10 tahun, kamu mengenalku,
kamu mungkin tidak akan tahu bagaimana diriku yang sebenarnya.”
Karena terkadang, aku terlalu takut dengan efek
selanjutnya setelah aku bercerita, aku takut mereka akan berpikiran buruk
tentangku, atau mungkin menjauhiku.
Tapi malam itu, 13 Oktober ’17, pukul 9 lewat
bebebrapa menit, aku patahkan pendirianku sendiri.
Aku mulai bercerita, kisah yang menurutku kelam. Kisah
yang menurutku, hanya akan kubagikan kepada orang paling bisa kupercaya. Kisah
yang menurutku, hanya orang-orang bertitle psikolog yang boleh tahu cerita ini.
Kisah yang menurutku, pedihnya tidak akan bisa dibandingkan dengan kisah teman
yang lain.
Tapi nyatanya aku salah. Aku kalah. Aku membaginya.
Aku pikir, kisah ini akan sangat memalukan, akan sangat aib, akan sangat aku
jaga, sampai siapapun tidak boleh tahu. Tapi berkat malam itu, saat satu persatu
mulai membagikan ceritanya. Dari yang awalnya masalah kuliah, sampai lama-lama
masuk pada bagian terdalam, tentang keluarga. Aku mulai berpikir, tidak papa
bercerita, ternyata semua orang juga pernah merasakannya, aku merasa normal
kembali, aku merasa aku punya banyak
teman lain, dengan kepedihan yang sama. Aku bahkan banyak menemukan kisah yang lebih
berdarah dari milikku.
Aku duduk dengan
mereka, mendengarkan satu per satu. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk
angkat tangan, “Bu, saya ingin bercerita.” Aku pikir aku akan menangis, aku
pikir akan banyak air yang mengalir dari
mata dan hidung, aku pikir dada dan tenggorokanku akan sesak setelah menceritakannya.
Tapi nyatanya tidak. Aku baik-baik saja. Aku tidak menangis, seperti biasanya,
saat aku menceritakan kisah ini ke konselorku dulu. Tidak ada rasa sesak yang
tertinggal. Aku sepenuhnya bisa mengendalikan diri, tanpa ada rasa sakit yang
tertinggal dalam diriku, Mungkin karena aku sudah cukup siap untuk bercerita. Mungkin
karena cerita-cerita dari mereka, sudah cukup menguatkanku untuk tidak
berpikir, “Apa yang mereka pikirkan tentang diriku? Apa mereka akan melihat
rendah ke diriku?” dan segala pikiran bodoh lainnya.
Nyatanya, hampir seisi ruangan pernah merasakan
bagaimana mereka memperjuangkan hidup mereka, dalam keluarga yang rapuh, dalam
tuntutan hidup yang angkuh, dalam segala hal yang membuat semangat runtuh. Nyatanya,
itu semua normal.
Dan aku tidak pernah menyesal bila hari itu, aku
memutuskan untuk bercerita.
Aku mencintai kalian semua, teman-teman angkatan
2017 ku, Kak Via, Kak Lis, Kak Noe, Kak Bagus, Bu Siska, Bu Stefani, karena
hari itu, aku mulai berpikir, tidak ada lagi yang perlu ditakuti, tidak ada
lagi yang perlu disembunyikan, aku tahu siapa kalian, kalian tahu bagaimana aku,
dan aku tetap mencintai kalian dengan segenap hatiku, semoga sebaliknya juga.
Mari terus seperti ini. Tidak papa bila suatu hari
nanti kita mungkin bertengkar, tapi ingat, malam itu, kita pernah menangis
bersama, berkomitmen bersama untuk saling menjaga.
15 Oktober ’17.
-Acara Campjur 13-14 Oktober ’17, Wisma Dordia,
Claket, Jawa Timur-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar