Senin, 06 Februari 2017

Agama dalam sudut pandang saya.



Dulu, saya pikir masalah agama adalah perkara mudah.

Sebab di setiap ujian sekolah, saya hampir tidak pernah mendapat nilai 8 ke bawah.
Pokoknya, yang baik maka itu jawaban yang benar.
Nyatanya agama lebih kompleks dari itu.
Tidak sesederhana seperti pilihan dalam ujian.
Semakin bertambah usia, saya semakin paham.
Ternyata kadar kemampuan bergama saya masih cukup jauh.
Belajar masih sangat saya perlukan.
Begitupun dengan kadar iman.
Setiap waktu, saya selalu menganggap bahwa sayalah yang paling unggul dalam hal tersebut.
Dibanding teman-teman saya, yang pada usia remaja belum juga menutup aurat secara sempurna.
Saya sudah diajari puasa sejak umur lima. Begitupun juga menutup mahkota di kepala saya.
Sejak kecil saya dididik untuk menjadi muslimah sempurna yang selalu patuh pada-Nya.
Tapi ternyata saya masih sangat jauh untuk dibilang tanpa cacat.
Saya masih perlu banyak mencatat dosa-dosa yang harusnya tidak saya ulangi. Tapi terus terjadi lagi.
Saya adalah wujud sebodoh-bodohnya umat manusia.
Senang memuji sendiri. Lantas mencaci mereka yang belum berperilaku terpuji.
Padahal jika begitu, saya juga sama tidak terpujinya.
Saya dulu sering menganggap rendah wanita yang gemar menampakkan aurat di sembarang tempat.
Tapi sekarang saya paham, jilbab tak melulu melindungi hal yang tidak seharusnya dilihat.
Juga tak melulu sebagai simbol muslimah yang taat.
Jilbab yang saya pahami saat ini sama halnya dengan pisau.
Terngantung penggunanya mau dipakai apa.
Kamu mungkib berjilbab, tapi siapa yang tahu bila hatimu bangsat?
Wanita lain mungkin mempertontonkan aurat, tapi siapa yang tahu bila hatinya sebaik malaikat.
Jilbab punya maknanya sendiri.
Ada yang memakai jilbab hanya untuk melindungi agar kebinalannya tidak tampak.
Ada yang tidak memakai jilbab dengan alasan dapat lebih dekat pada semua jenis umat manusia.
Semua punya alasannya masing-masing.
Yang pakai jilbab tidak selalu baik. Pun begitu sebaliknya, tidak selalu buruk.
Jilbab tidak perlu dijadikan dasar dalam menentukan baik-buruknya orang.
Cukup kita sama-sama berlomba menjadi baik untuk orang lain.
Tanpa harus sibuk menilai pantas atau tidak pantasnya sikap orang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar