Akan selalu
ada yang menjatuhkanmu, tidak peduli sekokoh apapun, tembok besi yang kamu bangun, di sekeliling hatimu. Mereka yang
benci, akan terus melukai. Mereka yang suka, akan meluangkan waktunya untuk
mendengarkan kita bercerita.
Dari semua
luka yang ada, tangis yang tak kunjung reda, kita akan sambil menyeleksi
satu-satu, mana yang memang benar-benar berusaha untuk terus ada di sisi kita, atau
yang hanya pura-pura peduli, untuk
menjadi pantas saja, karena menyebut dirinya sendiri adalah teman kita. Padahal kita tidak menganggapnya begitu.
Jujur saja,
aku tak pernah benar-benar percaya bila teman baik itu ada. Dulu. Sebelum banyak
kejadian, memutar balikkan hidupku, ke atas dan ke bawah berulang kali. Sebab dulu,
aku selalu berpikir, aku selalu bisa menghadapi semuanya sendiri. Sok kuat. Sok
mampu. Sok tidak butuh bantuan. Karena keyakinanku, buat apa punya teman, kalau mereka cuma baik di depan, munafik, tidak pernah mendukungmu, atau diam-diam justru jadi bagian yang menjatuhkanmu. Hal tersebut bertahan untuk 2 tahun lamanya, atau tiga mungkin. Entahlah tapi yang jelas, keyakinan yang aku pegang kuat-kuat tersebut, di akhir, justru menjatuhkan aku, sejatuh-jatuhnya, ke luka yang mendalam.
Karena pada
akhirnya, setelah semua orang datang dan pergi, pura-pura mempedulikan aku yang
sakit hati. Ada yang tetap berdiri di sampingku. Pura-pura tak mendengarkan,
ketika aku memintanya pergi. Atau pura-pura pergi, padahal aku tahu, dia ada di
belakangku sepanjang waktu. Menjagaku, bia suatu saat, kewarasanku hilang, dan
ingin menabrakkan diri ke kendaraan di depanku. Ini akan terdengar sangat berlebihan. Tapi sungguh. Aku pernah ada di sana. Di titik,
yang mau hidup atau mati, terserah pada truk yang melintas di depan mataku. Sekacau itu. Segila itu. Seberlebihan itu. Whatever you called it.
Nyatanya
saat itu, pikiran memang tak bisa jernih. Yang ada hanya overthinking, perasaan
yang sensitive dan banyak hal lain, yang membuat stress berkepanjangan. Hingga ada
orang, yang tetap menemaniku berjuang, mendengarkan setiap ide-ide bangsat soal
mengakhiri hidup, melihat sembab di mataku, menemani aku menangis di sudut
tangga sekolah. Dan semua hal, yang sampai kapanpun, aku berjanji, tidak peduli
sebenci apa aku dengan orang ini nantinya, aku akan berusaha sekuat mungkin
untuk mengingat apa yang telah ia lakukan padaku.
Dan sebelum tulisan ini usai. Aku ingin bilang.
Dan sebelum tulisan ini usai. Aku ingin bilang.
Dear, I write it for you. Yang kuat ya, hidup memang soal
mengabaikan, omongan-omongan lancang,
mengenai hidup kita. Mereka tidak tahu apa-apa. Kamu yang punya otoritas
soal hidupmu. Tidak apa. Bersedihlah untuk hari ini, ataupun sampe esok
selanjutnya. Aku akan setia mendengarkan, setiap keluh kesahmu ataupun
tangisanmu di telpon seusai semua lelahmu menahan amarah. Tidak papa, sungguh. Untuk
kamu, akan aku abaikan sebentar masalah lain di hidupku. Toh dulu kamu juga
begitu, tetap mendengarkan, tidak menghujatku berlebihan, alay atau semacamnya. Maka aku juga harus begitu. I swear, i'll beside u, as long as I can.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar