Minggu, 04 September 2016

Pelengkap Iman

Beberapa hari ini, saya sedang menyiapkan sebuah cerpen untuk ikut salah satu kompetisi menulis. Dan tema yang disodorkan oleh panitia adalah seputar berjilbab.
Dari proses menulis cerpen yang sekarang saya masih bingung apa judulnya, saya menemukan banyak pengalaman inspiratif, yang saya dapatkan dari berbagai sumber seperti internet, juga teman saya sendiri.

Seperti di internet, saya menemukan banyak pengalaman luar biasa mereka, ketika pada akhirnya memutuskan istiqomah untuk berjilbab. Ada yang awalnya non islam, kemudian hatinya terketuk untuk memeluk islam, dan mempraktekkan islam secara kaffah,  yang salah satunya dengan menutup aurat-berjilbab.
Jujur, kadang saya selalu iri pada mereka, yang baru saja mendalami islam, namun sudah serius sekali memahami islam secara menyeluruh. Sebab saya sendiri, yang sejak lahir sudah memeluk islam, tidak pernah bisa semesra itu mempraktekkan seluruh ajaran-Nya.
Kadang saya sendiri, masih terlampau jauh untuk sebutan-sebutan seperti anak alim, yang sering orang layangkan pada saya. Hanya karena saya mematuhi bebrapa perintah agama, hanya karena saya melakukan amalan sunnah, hanya karena saya memanjangkan jilbab saya, hanya karena wajah saya tidak berdosa, haha yang terakhir ini sungguh membuat saya tidak habis pikir, tapi sungguh beberapa orang pernah mengatakannya pada saya.
Tapi, ini seperti ujian berat bagi saya. Terkadang, ingin sekali saya berteriak, saya tidak sebaik itu. Sebab jika mereka tahu lebih dalam, tentu akan banyak mereka temukan noda-noda kotor yang tidak terkira jumlahnya.
Pujian-pujian seperti itu, terkadang secara tidak sadar, hanya membuat saya lebih munafik pada Allah. Kadang saya mau melakukan amalan-amalan A, B dan sebaginya, hanya karena ingin dianggap baik oleh orang lain, selebihnya saya tidak meniatkan karena mencari ridho Allah.
Bodoh. Iya, saya memang sebodoh itu, semunafik itu, senggilani itu, andai orang tahu. Tapi terkadang topeng kemunafikan, lebih dulu menempel di wajah saya. Membuat gengsi saya menggeliat sedemikian rupa.
Sama halnya dengan berjilbab, awal mula saya mulai secara tekun berjlbab, bukanlah saya niatkan karena Allah, ada banyak alasan munafik yag mendorong saya. Seperti karena saya alumnus sekolah islam, karena ayah saya guru di pondok, karena ayah saya berjenggot, karena ibu saya juga berjilbab, karena saya malu diejek rambut saya keriting dan karena hal lainnya, yang membuat saya untuk memutuskan jilbab.
Namun pada akhirnya, kemunafikan-kemunafikan tersebut, justru mengantar saya pada jalan yang lebih baik. Seperti setiap saya ingin keluar rumah, saya selalu memakai jilbab, sebab jika saya lupa memakainya entah mengapa hati saya resah.
Keresahan itu awalnya memang karena saya takut orang akan mengatakan A, B dan sebagainya jika saya lepas pakai jilbab. Tapi sedikit-sedikit saya paham sendiri, jilbab dianjurkan karena dimaksudkan untuk tujuan yang mulia. Bukan untuk sekedar identitas, namun juga untuk pelindung dari segala sesuatu yang tidak seharusnya dilihat oleh orang lain.
Ya dan pada akhirnya saya nyaman memakai jilbab. Terlanjur nyaman malahan.
Itu untuk pengalaman saya sendiri tentang berjilbab. Dan hari ini, saya mendapat pengalaman baru lagi, dari salah satu teman saya.
Jadi begini, dia mengutarakan bagaimana dia dulu awal mulanya bisa memakai jilbab. Katanya dulu saat awal masuk SMA, dia memutuskan untuk memakai jilbab-setelah sebelumnya tidak pakai- karena dia tidak ingin berdandan yang aneh-aneh saat masa orientasi siswa. Sebab menurutnya, yang pakai jilbab dandannya lebih “aman”.
Cukup menggelikan sebenarnya. Tapi begitulah ada berbagai macam proses untu berjilbab.
Sedang jilbab sendiri menurut saya bukanlah identitas islam. Ya maksud saya, islam dan jilbab terkadang tidaklah sepaket, karena banyak yang mengaku dirinya islam, tapi ia tidak memakai jilbab. Bannyak juga di luar sana, yang non islam tapi justru memakai tudung rambut yang menyerupai jilbab. Jilbab itu menurut saya lebih dari sekedar identitas, tapi dia seperti sebagian dari iman. Dia yang membuat iman kita menjadi komplit. Sama halnya dengan menikah yang memenuhi separuh agama.
 Seperti sebuah pelengkap, ia tidak bisa datang secara langsung. Ada proses yang harus orang jalani, untuk pada akhirnya mereka berjilbab, entah itu awalnya karena keterpaksaan atau ketidak sengajaan. Dan setiap orang punya jangka waktunya masing-masing.
Jadi sekarang yuk, jangan asal menghujat orang lain yang belum berhijab. Akan lebih baik bila kita berjalan beriringan bersamanya, menuntun dia, bukan hanya mendorong lantas melepas dia tanpa memberi dia sokongan atau bantuan.
Bahkan lebih berbahaya, kamu  malah menghujatnya wanita ahli neraka. Hati-hati, hal ini justru kamu sendiri yang menghalangi proses hijrahnya, kamu yang membuat dia jadi malas berjilbab, kamu yang membuat dia jadi berpikir, untuk mau di cap baik tidak harus berjilbab, sebab banyak yang berjilbab tapi perbuatan dan perkataannya biadab.
Kalaupun kita sekarang sudah berjilbab-sudah dapat memanhai islam sampai tingkat yang lebih tinggi dari orang lain. Maka jangan sampai kita merasa lebih baik, lantas melabeli orang yang belum berjilbab adalah buruk, dosa, wanita ahli neraka atau justru kafir. Sebab kita ini saudara sesama muslim, tentu itu akan menyakitkan melukai saudara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar