Beberapa hari ini, saya sedang
menyiapkan sebuah cerpen untuk ikut salah satu kompetisi menulis. Dan tema yang
disodorkan oleh panitia adalah seputar berjilbab.
Dari proses menulis cerpen yang
sekarang saya masih bingung apa judulnya, saya menemukan banyak pengalaman
inspiratif, yang saya dapatkan dari berbagai sumber seperti internet, juga
teman saya sendiri.
Seperti di internet, saya menemukan
banyak pengalaman luar biasa mereka, ketika pada akhirnya memutuskan istiqomah
untuk berjilbab. Ada yang awalnya non islam, kemudian hatinya terketuk untuk
memeluk islam, dan mempraktekkan islam secara kaffah, yang salah satunya
dengan menutup aurat-berjilbab.
Jujur, kadang saya selalu iri pada
mereka, yang baru saja mendalami islam, namun sudah serius sekali memahami
islam secara menyeluruh. Sebab saya sendiri, yang sejak lahir sudah memeluk
islam, tidak pernah bisa semesra itu mempraktekkan seluruh ajaran-Nya.
Kadang saya sendiri, masih
terlampau jauh untuk sebutan-sebutan seperti anak alim, yang sering orang
layangkan pada saya. Hanya karena saya mematuhi bebrapa perintah agama, hanya
karena saya melakukan amalan sunnah, hanya karena saya memanjangkan jilbab
saya, hanya karena wajah saya tidak berdosa, haha yang terakhir ini sungguh
membuat saya tidak habis pikir, tapi sungguh beberapa orang pernah
mengatakannya pada saya.
Tapi, ini seperti ujian berat bagi
saya. Terkadang, ingin sekali saya berteriak, saya tidak sebaik itu. Sebab jika
mereka tahu lebih dalam, tentu akan banyak mereka temukan noda-noda kotor yang
tidak terkira jumlahnya.
Pujian-pujian seperti itu,
terkadang secara tidak sadar, hanya membuat saya lebih munafik pada Allah.
Kadang saya mau melakukan amalan-amalan A, B dan sebaginya, hanya karena ingin
dianggap baik oleh orang lain, selebihnya saya tidak meniatkan karena mencari
ridho Allah.
Bodoh. Iya, saya memang sebodoh
itu, semunafik itu, senggilani itu, andai orang tahu. Tapi terkadang topeng
kemunafikan, lebih dulu menempel di wajah saya. Membuat gengsi saya menggeliat
sedemikian rupa.
Sama halnya dengan berjilbab, awal
mula saya mulai secara tekun berjlbab, bukanlah saya niatkan karena Allah, ada
banyak alasan munafik yag mendorong saya. Seperti karena saya alumnus sekolah
islam, karena ayah saya guru di pondok, karena ayah saya berjenggot, karena ibu
saya juga berjilbab, karena saya malu diejek rambut saya keriting dan karena
hal lainnya, yang membuat saya untuk memutuskan jilbab.
Namun pada akhirnya,
kemunafikan-kemunafikan tersebut, justru mengantar saya pada jalan yang lebih
baik. Seperti setiap saya ingin keluar rumah, saya selalu memakai jilbab, sebab
jika saya lupa memakainya entah mengapa hati saya resah.
Keresahan itu awalnya memang karena
saya takut orang akan mengatakan A, B dan sebagainya jika saya lepas pakai
jilbab. Tapi sedikit-sedikit saya paham sendiri, jilbab dianjurkan karena dimaksudkan
untuk tujuan yang mulia. Bukan untuk sekedar identitas, namun juga untuk
pelindung dari segala sesuatu yang tidak seharusnya dilihat oleh orang lain.
Ya dan pada akhirnya saya nyaman
memakai jilbab. Terlanjur nyaman malahan.
Itu untuk pengalaman saya sendiri
tentang berjilbab. Dan hari ini, saya mendapat pengalaman baru lagi, dari salah
satu teman saya.
Jadi begini, dia mengutarakan
bagaimana dia dulu awal mulanya bisa memakai jilbab. Katanya dulu saat awal
masuk SMA, dia memutuskan untuk memakai jilbab-setelah sebelumnya tidak pakai-
karena dia tidak ingin berdandan yang aneh-aneh saat masa orientasi siswa.
Sebab menurutnya, yang pakai jilbab dandannya lebih “aman”.
Cukup menggelikan sebenarnya. Tapi
begitulah ada berbagai macam proses untu berjilbab.
Sedang jilbab sendiri menurut saya
bukanlah identitas islam. Ya maksud saya, islam dan jilbab terkadang tidaklah
sepaket, karena banyak yang mengaku dirinya islam, tapi ia tidak memakai jilbab.
Bannyak juga di luar sana, yang non islam tapi justru memakai tudung rambut
yang menyerupai jilbab. Jilbab itu menurut saya lebih dari sekedar identitas,
tapi dia seperti sebagian dari iman. Dia yang membuat iman kita menjadi
komplit. Sama halnya dengan menikah yang memenuhi separuh agama.
Seperti sebuah pelengkap, ia tidak bisa datang
secara langsung. Ada proses yang harus orang jalani, untuk pada akhirnya mereka
berjilbab, entah itu awalnya karena keterpaksaan atau ketidak sengajaan. Dan
setiap orang punya jangka waktunya masing-masing.
Jadi sekarang yuk, jangan asal
menghujat orang lain yang belum berhijab. Akan lebih baik bila kita berjalan
beriringan bersamanya, menuntun dia, bukan hanya mendorong lantas melepas dia
tanpa memberi dia sokongan atau bantuan.
Bahkan lebih berbahaya, kamu malah menghujatnya wanita ahli neraka.
Hati-hati, hal ini justru kamu sendiri yang menghalangi proses hijrahnya, kamu
yang membuat dia jadi malas berjilbab, kamu yang membuat dia jadi berpikir,
untuk mau di cap baik tidak harus berjilbab, sebab banyak yang berjilbab tapi
perbuatan dan perkataannya biadab.
Kalaupun kita sekarang sudah
berjilbab-sudah dapat memanhai islam sampai tingkat yang lebih tinggi dari
orang lain. Maka jangan sampai kita merasa lebih baik, lantas melabeli orang
yang belum berjilbab adalah buruk, dosa, wanita ahli neraka atau justru kafir.
Sebab kita ini saudara sesama muslim, tentu itu akan menyakitkan melukai
saudara sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar